Bab 4 : Ajakan

13 0 0
                                        

'Kenapa lari?"

"Lari tidak menyelesaikan, justru akhirnya lebih menyakitkan!"

"Lihat aku. Ini hasil tes DNA yang ke lima kalinya. Dan lembar ini masih sama informasinya. Negatif."

Kali ini Robi membantu Rara untuk berpikir lebih terbuka. Mencoba memahami dan menerima keadaan walau itu pahit. Mengingatkan kembali apa yang ada sekarang untuk disyukuri bukan untuk disesali. Karena dengan tidak beruntungnya kita ternyata kita tetap paling beruntung jika kita mampu membuka diri dan hati.

"Aku tidak bisa seperti mu," ucap Rara putus asa ketika sore itu ia dan Robi berjalan menikmati senja yang sebentar lagi datang.

"Kau pikir dengan mudah aku menerima semua ini?" tanya Robi

Rara diam, ia biarkan angin sore yang kering menerpa wajah dan memainkan rambutnya. Dan Robi pun tidak memaksa terlalu jauh. Ia pun teringat awal ketika ia menerima kenyataan seperti yang tengah dialami temannya kini. Permasalahan yang mereka miliki hampir bisa dikatakan sama. Robi dan Rara adalah dua orang anak manusia yang berstatus sebagai anak angkat dari sebuah keluarga yang terpandang dan terhormat.

Perjalanan waktu yang mereka lalui, memberi kisah yang berbeda. Dari segi permasalah yang dihadapi tidak ada bedanya, sama-sama rumit sama-sama sulit. Namun permasalahan hidup yang menerpa Robi membuat ia bisa tampil lebih tegar dan pada akhirnya ia mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Hal ini yang sekarang sedang diajarkannya pada Rara.

Ketika Robi berusia 10 tahun pada saat itu ia mengatahui bahwa ia bukan anak kandung dari Bapak Aron Simanjuntak dan Ibu Carolina Br Ginting. Waktu ia hanya memahami sebatas usia kecilnya. Ia tidak lari, karena tidak pula tahu harus lari kemana? Ia tidak membenci takdirnya, karena ia pun tidak punya cara untuk menemukan takdir yang paling baik menurut versinya.

Ternyata Tuhan belum cukup mengujikan dengan hal itu. Tepat ketika ia berulang tahun ke 13 pada saat itu ia kehilangan orang tua yang dikenalinya. Mereka meninggalkan Robi remaja tanpa sempat mengungkapkan cerita yang sebenarnya. Dan yang lebih parah lagi, sejak itu ia tidak pernah lagi merasakan hangatnya sebuah keluarga. Hidup dari satu panti ke panti yang lain dijalaninya sampai ia sampai ada sebuah titik kemandirian. Warisan perusahaan yang dijalankan oleh orang kepercayaan Bapak memberinya modal dan ruang untuk sebuah kemandirian secara finansial. Dan pada waktu itu tiba ia memutuskan untuk menemukan apa yang ingin diketahuinya.

Jika ingin mengabaikan atau membuang masa lalu, sebenarnya bukan perkara yang mudah bagi Robi waktu itu. Orang hanya mengenalnya sebagai pewaris satu-satunya keluarga Simanjuntak. Tidak ada saudara ataupun kerabat yang dikenalinya. Karena semasa hidupnya, kedua orang tua angkatnya tidak bergaul dengan perkumpulan marga. Mereka lebih senang bersosialisasi dengan orang dari suku yang berbeda. Bagi Robi kala itu, kerabatnya hanya Tante Meri dan Opa Gito, tetangganya. Ia tindak mengenal siapa Opung, Tulang, Amang Tua bahkan ia tidak mengetahui siapa Ibannya. Sungguh ia sendiri di dunia yang luas ini.

Tapi yang namanya nurani tidak pernah menutupi kebenaran. Tanpa sengaja ketika Robi berusia 17 tahun ia menemukan sebuah dokumen asal usulnya didalam tas kerja Bapak yang tidak pernah dibukanya selama ini. Disana tertulis dokumen adopsi dari anak laki-laki berusia 3 bulan dari pasangan Joko Prayitno dan Sri Mujiati. Dokumen itu tercantum nama sebuah rumah sakit di kota Solo. Hanya itu informasi yang diperolehnya. Tidak banyak, tapi itu menjadi modal petualangannya. Ia harus menemukan orang tua kandungnya. Ia harus mencari keberadaan orang tua kandungnya. Terlepas apakah nanti ia akan bahagia atau justru akan terluka. Yang pasti Robi tetap akan berjuang sampai dapat melihat dan mengatakan pada mereka bahwa ia ada dan ingin bersama mereka.

"Sudah telepon ke rumah?" tanya Robi, ketika mereka sedang menikmati semangkok bakso di pinggir jalan menuju rumah Eyang.

"Belum," jawab Rara santai seperti biasanya.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang