Tidak ada yang mudah ketika semua proses yang dijalani ini dihadapkan oleh beberapa pilihan. Setidaknya seperti itu yang dirasakan Robi saat ini. Urusan hati dan percintaan yang selalu tidak sejalan dengan khayalannya menguras waktu dan tenaga, sehingga saat ini ia seakan lupa akan tujuan utama datang ke ibu kota.
Robi seakan menyesali keadaan yang berlaku sekarang. Keputusan untuk ke Jakarta, ternyata menyebabkan ia harus berhadapan dengan dua orang gadis. Jika ditanya kepada siapa hatinya condong memilih dengan lancar ia akan menjawab Rara. Tapi ketika ia akan menjalaninya ternyata, benturan, halangan dan rintangan tidaklah mudah untuk menuju hati gadis manis bertumbuh mungil dengan mata bening yang selalu berbinar.
Permintaan orang tua yang sangat dihormatinya memaksa Robi harus menerima kehadiran gadis lain yaitu Evita. Jika bicara gadis ini, Tidak ada sedikitpun desiran, debaran atau kerinduan padanya. Semuanya terasa datar dan tawar, tapi peran orang tua di sini memaksa ia untuk tetap menjalaninya walau setelah itu yang ada hanya luka dan kepahitan.
Pagi ini, setelah menyerahkan berkas pekerjaan yang tadi malam di koreksinya pada Luna. Robi melanjutkan perjalanan ke rumah Amang. Ia ingin bicara dari hati ke hati dengan orang tua tersebut. Bicara selayaknya anak kepada Ayah tanpa ada desakan dari pihak manapun. Hari ini Robi akan bicara tentang isi hatinya kepada Amang.
"Amang di rumahkan?" tanya Robi memastikan sebelum ia berangkat dari kantor menuju rumah Amang Theo.
"Iya aku di rumah."
"Amang aku bawa nasi kuning kesukaanmu. Kita sarapan bersama, ya." pesan Robi sebelum menutup pembicaraan dengan sopan.
Setelah singgah membeli nasi kuning lengkap untuk Amang dan dirinya, Robi membawa pajero sport warna putih kesayangan membedah utara kota menuju kediaman Amang.
Tidak sampai satu jam, Robi sudah berada di sini. Rumah yang luas dengan halaman yang juga luas. Padahal pemiliknya tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini selain dirinya. Di rumah ini Amang menghabiskan hari-harinya. Usia yang sudah mendekati angka 75 tahun membuat Amang tidak perlu kekantor lagi. Kehadirannya di perusahaan jika memang dibutuhkan, jika tidak ia akan menghabiskan waktunya dengan menyalurkan hobinya bertani dan berternak.
Ketika Robi kecil dulu, Ayah dan Ibu angkatnya sering mengajaknya kemari. Kadang mereka menginap di sini untuk beberapa hari. Karena itu, rumah ini bagi Robi bukan tempat yang asing lagi. Ini adalah rumah ke dua baginya, rumah tempat ia akan pulang dari segala kelelahan dunia.
"Bapak di istal, Den," kata Pak Rahmat kepala pelayan yang sama tuanya dengan Amang.
Robi sudah tahu istal yang dimaksud Pak Rahmat. Seperti ini kegiatan Amang di pagi hari. Berkencan dengan bunga mawar dan anggrek kemudian dilanjutkan bermanja-manja dengan kuda-kudanya.
"Amang," sapa Robi sambil mengangkat bungkusan nasi kuning yang dibelinya tadi.
"Tunggu di pondok. Aku cuci tangan dulu."
Robi bergegas menuju bangunan kecil dengan struktur dan material dari kayu yang di sebut Amang pondok. Duduk di sini bisa menyaksikan hamparan rumput hijau dan tanaman lainnya yang dirawat dengan rapi. Biasanya Robi dan Amang sering menghabiskan sore untuk menikmati senja datang dengan secangkir kopi di pondok ini, tapi kali ini mereka akan sarapan dan berbincang hangat. Itu rencananya.
"Dari mana kau tahu aku sudah lama tidak makan nasi kuning Marto?" tanya Amang sambil membuka bungkusan yang diserahkan Robi padanya.
"Nebak saja," kekeh Robi.
Sungguh berbeda sikap laki-laki tua ini jika tidak ada orang lain. Robi merasakan kehangatan, perlindungan dan kenyamanan ketika hanya berdua dengan Amang. Sikap ini jauh terasa jika ada orang lain seperti Evita dan Namboru di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomansPertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...