Bab 15 : Rindu

2 0 0
                                    


Ruang meeting di salah satu hotel berbintang 5 di jantung kota Surabaya, terlihat Robi tengah memimpin sebuah rapat. Penampilannya pagi ini sangat kontras dengan kesehariannya. Tinggal sudah kaos oblong lusuh dengan celana jeans yang sudah sobek di mana-mana, kadang hanya ditemani oleh sebal jepit atau setingkat di atasnya.

Tapi yang terlihat kini adalah seorang pengusaha muda yang tampan, berpakaian rapi seperti seorang eksekutif muda, kemeja lengan panjang berwarna khaki, dengan stelan jas dan celana katun dengan warna senada, ditambah dasi berwarna merah maron serta sepatu kulit berwarna coklat tua yang melengkapi penampilan sang direktur muda pagi ini.

"Saya ingin laporan pembangunan proyek untuk masing-masing devisi sudah saya terima sore ini. Kirim ke email saya. Jika ada yang ingin saya revisi, saya mohon kerja sama dari kepala bagian untuk merevisinya hari ini juga." Pesannya sebelum bangkit dari kursi meetingnya menandakan rapat hari ini sudah selesai dilaksanakan.

"Huhhhhhh!" Robi membuang napas sejenak. Setelah semua kepala devisi keluar dari ruang rapat. Tinggal ia dan Luna -- sekretaris pribadinya.

"Akhir-akhir ini kau terlihat sibuk." Sindir Luna padanya.

Robi dan Luna berteman dengan baik, suami dan anak-anaknya sudah seperti kerabat jauh bagi Robi. Sehingga ketika mereka hanya tinggal berdua panggilan formal sejenak mereka tinggalkan. Luna orang kepercayaan Robi di sini. Orang yang selalu menangani semua pekerjaan yang semestinya menjadi beban dan tanggung jawabnya.

"Aku masih belum menemukannya." Keluh Robi pada Luna. Luna juga mengetahui bahwa selama hampir satu tahun ini pimpinan sekaligus sahabatnya ini sedang berjuang mencari dari mana asal usulnya.

"Sebaiknya kau ikuti saranku. Menikahlah, setelah itu kau akan punya teman untuk berbagi resahmu," kata Luna.

Sebuah saran kali ke seratus yang diterima Robi. Sudah terlalu sering Luna menyarankan ini. Dan sudah teramat sering juga bagi Robi menyambutnya hanya dengan senyuman.

"Kau pikir kawin itu mudah." Sahut Robi

"Sebenarnya mudah, kau saja yang mempersulitnya," sanggah Luna kemudian.

"Untuk pengusaha muda, sukses dan tampan sepertimu antrian wanita yang bersedia berbagi hati dan waktu bersamamu pasti banyak. Kau yang tidak mau membuka hati mu untuk ini." Tebak Luna tepat pada sasarannya. Menusuk jantung, menikam hati dan tergambar perih ketika rasa yang diucapkan sahabatnya menjadi sebuah alasan yang benar.

Sejak ia kehilangan Ayah dan Ibu untuk selama-lamanya dan berpindah perawatan dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Membuat Robi remaja sibuk dengan menata hati untuk tegar, menata hati agar ia tidak takut dengan takdirnya.  Sehingga ketika ia menjadi laki-laki dewasa ia lupa bahwa ada yang seharus juga dicari selain asal usulnya yaitu cinta.

Robi lupa bahwa hatinya masih kering akan kehangatan kasih dan sayang dari perempuan. Tapi semua itu terobati dengan kesibukkan dan ketekunannya bekerja di perusahaan peninggalan almarhum Bapak yang dikelola oleh Amang Theo sampai saat ini. Sudah lama Amang ingin menyerahkan perusahaan ini pada Robi, dan ia selalu punya cara untuk menolaknya. Salah satunya karena ia masih belum menemukan asal usulnya secara lengkap.

"Hei. Apa yang kau pikirkan?" tepukan Luna di pundaknya menghentikan lamunan panjang Robi.

"Kau tidak sedang jatuh cintakan?" tanya Luna sambil tersenyum lucu.

"Karena bagiku, orang yang banyak melamun dari pada bekerja itu tandanya sedang terjangkit virus cinta." Kelakar Luna

"Kau selalu pandai menebak," ucap Robi lirih

"Jadi benar kau sedang jatuh cinta?" tanya Luna ekspresif, bangkit dari duduknya dan menarik sebuah kursi mendekati Robi

"Katakan siapa dia?" desak Luna.

"Nanti. Kalau aku sudah yakin betul dengan perasaan ini. Sekarang aku belum bisa bercerita banyak padamu. Terlalu banyak beda di antara kami, terutama masalah keyakinan. Tapi jujur kuakui bahwa ia perempuan pertama yang membuat aku merasakan apa arti sebuah rindu." Terlihat sebuah kebahagian yang tergambar dari wajah Robi ketika ia berbagi cerita dengan Luna.

Luna bahagia melihatnya. Saat ini kebahagian Robi juga kebahagiaannya. Robi masih tersenyum bahagia ketika berbagi kisah dengan sekretaris sekaligus sahabatnya

"Seperti sekarang, baru dua hari ini aku tidak mengabarinya. Aku sudah sangat merindukannya." Robi berucap sambil tersenyum.

Terlihat pancaran cahaya kebahagian dari matanya ketika bercerita. Ada senyum tipis yang selalu tergambar diwajahnya. Senyum yang sudah terlalu lama tidak disaksikan Luna secara langsung dari wajah Robi.

"Ternyata dia benar-benar sedang jatuh cinta." Bisik hati Luna.

"Nih!" perintah Luna sambil menyodorkan gawai Robi yang terletak diatas meja tepat di hadapannya.

"Kau telepon ya? Dengar suaranya, tatap wajahnya walau dari jauh dan jangan lupa minta doa darinya biar kau bisa tenang menjalani hari." Pesan Luna

"Dan ingat, jangan pernah gengsi atau sungkan jika ingin mengutarakan isi hati. Kejujuran itu bisa menenangkan jiwamu. Percayalah." Lanjut Luna sebelum meninggalkan Robi sendirian di ruangan meeting ini.

Sejenak Robi menyimak apa yang disampaikan sekretaris pribadinya itu. Tidak ada yang salah. Kedekatan dan keakraban mereka sekian lama tidak mampu membuat Robi menyembunyikan hal terkecil sedikit pun dari pandangan Luna. Pengusaha muda yang gagah ini sedang jatuh cinta, dan itu sebuah kesimpulan yang benar dan tepat.

"Apa kabarmu?" tanya Rara di seberang sana, ketika Robi melaksanakan usulan Luna,  menelepon Rara.

"Merinduimu," jawab Robi spontan

Untung saja percakapan hari ini terpisah oleh jarak, jika tidak pasti Robi sudah dapat menangkap seperti apa warna wajah Rara sekarang.

"Pekerjaanmu lancar?" tanya Rara mengalihkan topik utama yang sudah dimunculkan Robi.

"Lancar. Dua hari lagi ku pastikan sudah ada di Solo. Aku rindu denganmu." Kata Robi kembali menyuarakan isi hatinya.

"Rindu seperti apa kepadaku?" Tanya Rara.

"Rindu segalanya. Rindu berbincang denganmu, rindu melihatmu marah, rindu manja dan kasih sayangmu,"

Robi mengatakannya dengan tulus. Tidak ada dusta dari semua kata yang disampaikannya pada Rara. Ia biarkan gadis itu menilai seperti apa arti kehadiran dirinya bagi Robi. Benar kata Luna, setidaknya jujur dengan rasa membuat sedikit kelegaan di hati.

"Aku juga rindu denganmu," lirih suara dari seberang yang ditangkap Robi. Seakan takut terdengar oleh orang lain. Tapi Robi sudah mendengar poin pentingnya. Robipun tersenyum bahagia.

"Baiklah. Nanti kalau sudah di Solo kabari aku." Pesan Rara sebelum mengakhir perbincangan mereka.

"Pasti! Setelah aku pulang, kau yang pertama kali akan ku jumpai." Janji Robi.

Perbincangan merekapun berakhir. Walau tidak bisa menatap, menyentuh dan merasakan hangatnya sebuah kedekatan. Namun, semua ini sangat berarti bagi Robi.

Saat ini Robi punya segudang rindu untuk Rara. Gadis manis bertubuh mungil yang sudah memikat hatinya. Gadis tempat ia menceritakan semua rahasia kehidupannya. Semoga apa yang dimulainya sekarang akan berakhir dengan bahagia untuknya dan juga Rara.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang