Bab 13 : Jatuh Cinta

4 0 0
                                        

Restoran tempat mereka menginap masih terlihat sepi. Hanya beberapa meja yang sudah terisi oleh tamu, selebihnya masih kosong. Robi dan Rara terlihat berjalan berdampingan, memilih tempat duduk dipojok belakang yang pemandangannya langsung menuju laut lepas. Semilir angin laut yang bertiup kearah mereka menambah sejuk udara pagi ini.

Teringat pengalamannya ketika meminta Rara melayaninya, untuk kali ini Robi mengambil sendiri porsi sarapan paginya. Rara masih menikmati pesona alam yang tergambar jelas dihadapannya kini.

"Kau tidak saraapan?" tanya Robi sambil meletakkan satu cangkir kopi hitam panas, satu piring nasi goreng lengkap dengan telur dan ayam gorengnya dan satu mangkok kecil buah-buahan.

Rara tersenyum melihat bawaan Robi. Menu komplit yang bisa menemani perutnya sampai siang. Seakan bisa membaca pikiran Rara, kemudian Robi berbisik, "Biar untuk makan siang sekalian."

Rara tersenyum dan beranjak untuk mengambil menu sarapannya. Pilihan yang lebih ringan dan tidak sebanyak porsi yang diambil Robi. Sebanding dengan kondisi perutnya.

"Hari ini kita pulang!" kata Robi lebih tepatnya perintah.

"Langsung ke Solokan?" tanya Rara memastikan.

"Kau ingin kita langsung ke Jakarta?" pancing Robi.

Rara diam, ia pikir laki-laki ini tidak menyingung tentang ini. Ternyata, ia masih mengingatnya dan tetap menuntut jawaban dari Rara.

"Kenapa harus aku ikut denganmu ke Jakarta?" kembali Rara bertanya. Sekedar memastikan seberapa penting arti kehadiran dirinya untuk menemani Robi.

"Kau, koin keberuntunganku. Ketika aku mengajakmu ke Tridadi, aku menemukan ayahku. Sekarang aku mengajakmu ke Jakarta siapa tahu aku akan menemukan ibuku." jelas Robi.

"Tapi..." ada keraguan, sehingga Rara tidak melanjutkan perkataannya.

"Kalau tidak ingin menemaniku?" tanya Robi dengan nada kecewa.

"Bukan." jawab Rara sambil membuang napas untuk mengurangi sesak yang bergumpal di dalam dada.

"Aku merasakan arti hadirmu lebih penting dari sebelumnya, Ra." ungkap Robi. Ditatapnya mata gadis yang duduk tepat di hadapannya.

Dalam bahasa yang tak terucap, Rara bisa merasakan arti kesungguhan Robi dalam bicara. Tidak ada rayuan, kepura-puraan atau kebohongan menutupi keadaan sebenarnya, semuanya diutarakan dari hati terdalam.

"Aku jatuh cinta padamu." Ucap Robi spontan. Walau sudah menduga hal seperti ini akan diutarakan Robi, tapi setidaknya bukan dalam waktu sekarang ini.

"Aku tidak minta kau untuk menerima atau menolakku sekarang ini. Kapan kau akan menjawabnya terserah padamu. Yang pasti aku sudah bicara jujur padamu." ujar Robi

"Lalu apa hubungan antara perasaanmu dan ajakanmu?" tanya Rara kembali.

Ternyata gadis ini tidak mudah untuk menerima begitu saja sebuah alasan. Semuanya harus jelas dan harus logis. Robi tidak menyerah, ia tidak kehilangan akal. Untuk mendapatkan apa yang diinginkannya Robi akan memikirkan perencana yang tepat, sebuah rencana yang akan membuat Rara bisa dan mau pergi bersamanya menemukan Ibu di Jakarta.

"Kenapa tak kau jawab pertanyaanku?" desak Rara ketika melihat Robi hanya diam.

"Aku ingin kau bahagia. Perjalanan kita nanti ke sana bukan hanya untuk kebahagiaanku saja, tapi juga untukmu. Aku ingin kita sama-sama berjuang menghadapi masa depan kita. Pahit dan buruknya takdir bukan untuk disesali. Itukan nasihatmu padaku ketika kita masih di rumah Pak Nurman." Ungkap Robi kembali mengingatkan Rara akan nasihat yang pernah diberikannya.

"Takdirmu lebih beruntung dari pada aku. Walau kau dipaksa harus menyerahkan ayahmu ketangan yang lebih berhak. Setidaknya kau masih memiliki orang tua yang lengkap dan memiliki banyak kerabat. Sementara aku. Siapa yang kumiliki? Hanya Amang Theo yang bisa kusebut kerabat."

Rara terdiam mendengar penjelasan Robi.

"Pencarianku ini untuk mengumpulkan puing-puing yang berserakan. Puing yang berasal dari masa yang berbeda dan dari orang-orang yang berbeda. Lelah Ra, tapi aku tidak mau menyerah. Walau aku belum tahu ujung dari semua ini sampai dimana."

Rara menikmati setiap penjelasan Robi. Disimaknya baik-baik dan direnungkannya dengan baik. Apa yang dialami laki-laki ini sebenarnya lebih berat dari beban yang diterima hatinya saat ini. Namun Robi tidak menyerah, tidak menyesali bahkan mencoba lari seperti yang dilakukan Rara. Ia hanya berjuang sampai usaha itu mendapatkan hasil.

"Aku lebih mempercayaimu dari pada orang lain. Evita sudah mendapatkan informasi tambahan tentang ini. Dia mengajakku berjumpa nanti di Solo. Aku tidak mau, dan tidak ingin melibatkan dia." 

Untuk kali ini Rara yang bingung. Ada sebuah nama yang muncul di antara mereka. Evita, begitu Robi menyebutnya tadi. Siapa dia? Dan ada apa dengan hubungan mereka sehingga Robi tidak ingin melibatkan Evita dalam pencariannya.

"Apa aku mengenal, Evita?" Tanya Rara sedikit heran. Karena sepanjang kedekatannya dengan Robi, tidak sekalipun ia merasa punya teman yang bernama Evita.

"Evita kerabatku. Dalam tutur adat kami, dia adalah Paribanku. Sejak Ayah dan Ibu tiada baru ini aku bertemu dengannya."

Rara menyimak dengan baik. Walau tidak tahu apa makna kata dari Pariban, bagi Rara secara adat pasti mereka memiliki hubungan istimewa. Namun kenapa Robi tidak menginginkan kedekatan dengan keluarganya? Sebuah tanya yang tidak ingin diketahui Rara sekarang.

"Sudahlah. Tidak usah kita bahas orang yang tidak ada. Kembali ke topik awal. Kau bersediakan untuk ke Jakarta bersamaku?"

Gadis ini kembali diam. Terlalu cepat untuk memberikan jawaban sekarang, namun laki-laki gagah yang berada dihadapannya kini pasti tidak menginginkan jawaban nanti atau lusa.

Robi menunggu kepastian, agar ia bisa dengan tenang menyusun rencana keberangkatan serta mempersiapkan segala sesuatu yang akan mendukung pencariannya nanti di Jakarta.

Sementara Rara penuh keraguan untuk memenuhi keinginan Robi kali ini, ada beberapa sebab yang membuat Rara masih belum yakin untuk pulang ke rumah.

Namun perjuangan Robi tidak pernah sia-sia. Dengan seribu satu cara dan argumen, ia mampu menguburkan dan mengaburkan setiap keraguan Rara. Dan akhirnya gadis ini melunak dan mau menerima pendapat dan usulan Robi.

"Baiklah aku mau," ucap Rara.

"Benar?" tanya Robi tidak yakin

"Iya. Tapi dengan catatan kita harus menjumpai Evita terlebih dahulu. Siapa tahu informasi yang didapat olehnya bisa menjadi informasi tambahan untuk kita mencari ibumu di Jakarta nanti."

Permintaan Rara kali ini adalah sebuah strategi untuk mengetahui siapa sesungguhnya siapa Evita. Apakah hanya sekedar seorang kerabat atau lebih dari pada itu.a

"Asal kau yang menemaniku berjumpa dengan Evita aku mau," pinta Robi sambil menggenggam tangan Rara dengan lembut.

Anggukan kepala gadis itu sudah menjadi tanda kebahagian Robi hari ini. Tidak perlu ia memgambarkan cinta secara nyata. Tidak perlu ia merayu seperti pujangga. Tapi Robi berkeyakinan bahwa apa yang disetujui Rara sekarang adalah bentuk sebuah rasa dari sebuah perasaan terdalam. Tidak dapat diungkapkan dengan kata, karena memiliki rasa dan warna yang berbeda-beda.

Seperti warna pelangi. Bukan hanya satu atau dua, tapi beraneka warna. Punya keindahan dan perbedaan masing-masingnya tapi punya kesamaan dan sebuah ikatan yang kuat, melengkapi satu sama lainnya, sehingga menghasilkan sebuah bentuk karya cipta Tuhan yang indah, sekarang warna warni itu sedang ada disekitar mereka. Indah dan mempesona.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang