Bab 34 : Lingkaran Kehidupan

1 0 0
                                    

Ruang tamu dari rumah sederhana itu hanya berisi satu set kursi tamu dan bufet kayu jati yang sudah berusia puluhan tahun. Mata Robi menatap jeli keadaan sekeliling ruang. Mencoba mencari apa yang dapat ia kenali. Namun sampai suara seorang wanita paruh baya menyapa, Robi tidak juga menemukan apa yang diinginkannya.

"Maaf menunggu. Silahkan di minum wedang jahenya." Wanita yang diperkirakan berusia 50 tahun ke atas itu meletakkan dua gelas yang berisi wedang jahe yang masih hangat dihadapan Robi dan Rara.

"Minumlah selagi hangat," perintah wanita tersebut pada mereka berdua.

Robi mengangkat gelas minuman yang ada dihadapannya dan diikuti oleh Rara. Menghirup wangi rempah jahe yang menyegarkan, meminum seteguk dan menikmati hangatnya jahe mengaliri batang kerongkongan mereka. Sebuah suguhan yang pas untuk malam ini, sederhana dan bermanfaat.

"Yang mana di antara kalian yang punya hubungan dengan Sri?" Sebuah pertanyaan yang tidak senikmat wedang jahe yang baru diminum Robi.

Robi meletakkan gelas minumnya dengan hati-hati. Mencoba mengamati ekspresi wajah dari perempuan yang duduk dengan tenang dihadapannya.

"Saya yang sedang mencari Bu Sri," jawab Robi.

Kali ini wanita itu yang bergantian menatap Robi. Diperhatikannya dengan baik laki-laki yang ada dihadapannya sekarang. Dilihatnya dari ujung kepala sampai kaki.

Beberapa menit kemudian, pandangan matanya berhenti pada sebuah titik. Tepat matanya melihat sebuah tanda pada di bawah telinga sebelah kanan laki-laki itu.

Untuk memastikan pandangan matanya benar apa tidak. Wanita tersebut bangkit dari duduk dan menghampiri Robi, dan mendekatkan matanya pada bagian yang dilihatnya tadi. Sejenak matanya membulat.

"Tidak salah lagi," desis batinnya.

Robi kaget dengan sikap tuan rumah kali ini terpaksa hanya bisa menerima dengan pasrah. Kenapa wanita tua ini melihat tanda lahirnya. Apa yang ingin dikenalinya dari tanda tersebut? Sungguh Robi tidak mengetahuinya.

"Tanda yang ada di telinga kananmu, sama dengan tanda yang dimiliki oleh bayi Sri."

Robi belum bisa menebak arah dari cerita malam ini. Rara yang menemani dengan setia dari tadi hanya bisa terdiam dan tidak mau mencampuri urusan ini terlalu dalam. Biarlah Robi yang menyelesaikan dan menemukan jawabannya nanti.

"Aku yang menolong Sri melahirkan di Solo sekitar tahun 1990. Tepat tanggal 16 Juni pukul 14.15 di rumah sakit, lahirlah seorang bayi laki-laki sehat, normal dan tampan. Aku waktu itu adalah bidan di rumah sakit tersebut."

Wanita yang sampai sekarang belum diketahui Robi siapa namanya berhenti sejenak. Mencoba memberikan kesempatan pada tamunya untuk memahami sedikit cerita yang baru disampaikan.

Robi yang menyimak sampai pada sebuah pertanyaan dalam hati, "Apakah bayi laki-laki yang dimaksud oleh wanita ini adalah dirinya?"

"Apa kau yakin bahwa Sri yang ingin kau temukan adalah sama dengan Sri yang tinggal di rumah ini?" Sebuah pertanyaan yang sangat menjebak. Robi butuh kehati-hatian dalam menjawab.

Pertemuannya kali ini sangat berbeda dengan harapan yang dibangun Robi tadi. Sedikit optimisme yang dilontarkan Rara kepadanya seakan menguap jauh dan tak berbekas. Sekarang tinggal adalah keraguan dan ketidak pastian.

"Yakin atau tidaknya itu tergantung pada kesamaan bukti yang kami punya dengan bukti yang Ibu miliki."

Rara mencoba membantu Robi yang tidak mampu berkata apa-apa. Saat ini Robi bukanlah seorang yang mampu menjawab dan menawarkan solusi, mungkin karena lelah atau mungkin juga karena sebab yang lain.  Yang pasti Robi tidak bisa melakukan pembelaan dan pembenaran terhadap apa yang dimilikinya saat ini.

Wanita yang masih terlihat garis-garis kecantikan pada wajah tuanya itu tersenyum mendengar jawaban Rara. Dan menganggukkan kepala dan berlalu dari hadapan Robi dan Rara tanpa berkata apapun.

"Terimakasih," ucap Robi lirih sambil menggenggam lembut tangan Rara. Rara hanya membalas dengan tersenyum.

"Ini semua bukti yang aku miliki. Pak Surya orang yang kau minta menemukan Sri sudah bercerita banyak latar belakang dari pencarianmu. Semoga apa yang ingin kau temukan bisa kau dapatkan di sini," jelas wanita itu sambil meletakkan setumpuk dokumen dalam map plastik berwarna biru langit.

Robi dan Rara hanya menatap pada tumpukan dokumen yang ada dihadapan mereka. Tidak ada respon ingin mengambil, memeriksa dan menyelidikinya. Bagi mereka saat ini bukan dokumen ini saja yang dibutuhkan, namun yang paling penting adalah tentang di mana sekarang Bu Sri berada. Di rumah ini, atau di tempat yang lain.

"Terimakasih Ibu. Dokumen ini jika Ibu izinkan untuk kami bawa, nanti kami akan membawanya. Namun yang paling penting bagi kami saat ini datang menjumpai Ibu adalah untuk mengetahui di mana Bu Sri sekarang?"

Lagi-lagi Rara yang mewakili Robi berbicara. Malam ini laki-laki gagah dengan jabatan sebagai wakil presdir di sebuah perusahaan multinasional hanya mampu terdiam. Seakan ia mengajak Rara adalah sebagai juru bicaranya, bukan sebagai orang yang mendampinginya.

Terlihat wanita itu terdiam beberapa saat. Ada sorot mata kepiluan di mata sepuhnya. Kemudian tangan yang sudah mulai keriput membuka lembar demi lembar dokumen tersebut. Dengan berhati-hati ia membuka satu persatu, mengingat usia dari kertas itu sudah tua, tentu saja kehati-hatian sangat diperlukan.

Sesaat kemudian wanita itu berhenti ada sebuah foto berukuran besar. Diputarnya posisi foto tersebut, sehingga menghadap pada kedua tamunya malam ini.

Robi dan Rara yang dihadapkan oleh foto tersebut sama-sama membuat dua anak muda itu terkejut dengan versi yang berbeda-beda.

"Kenapa foto Sri Anna dan Ibunya serta Papa ada dengan wanita ini?" Pertanyaan itu tersimpan dalam hati Rara. Foto yang ada dihadapannya kini sama persis dengan foto yang ditunjukkan Papa ketika pertama kali Sri Anna datang dalam kehidupan mereka.

"Foto ini sama dengan yang kulihat tadi di rumah Rara?" Kali ini Robi yang bertanya dalam kebingungannya.

Robi dan Rara saling pandang. Mencoba bertanya satu sama lain, namun terpaksa ditunda karena yang mereka butuhkan sekarang adalah penjelasan dari wanita tua yang ada dihadapan mereka sekarang ini.

"Foto siapa ini?" Kali ini Robi mencoba mengendalikan perasaannya.

"Kau tidak mengenalinya sedikitpun?" Kembali wanita itu bertanya.

Robi terdiam. Jujur ia tidak mengenali siapapun di foto itu. Objek foto yang ada dihadapannya sama dengan objek foto yang didapatkannya dari Pak De Joko Purwanto waktu ia mencari jejak orang tua kandungnya di Jogjakarta. Dan malam ini objek yang sama ia temukan juga di rumah Rara, berada bersama dengan bingkai foto yang lain di ruang tamu keluarga tersebut. Apakah tiga orang yang sedang berfoto dengan bahagia ini sama atau berbeda. Robi tidak mengetahuinya.

"Ada yang kau ingat tentang foto ini?" Kembali wanita itu bertanya.

"Foto ini sama dengan foto yang di serahkan oleh saudara kandung Ayah di jogjakarta, Bu. Namun sayang foto yang ada dengan saya tidak saya bawa malam ini," jelas Robi.

"Apakah saudara kandung Ayahmu bernama Joko Purwanto?" tanya wanita itu.

Robi menatap heran, semakin ia tidak mengerti lingkaran kehidupan yang sedang dijalaninya kini. Semakin ia mencari seperti semakin ia dihadapkan pada sebuah kenyataan baru yang harus siap untuk menerima segala akibatnya nanti. Robi hanya mampu menganggukkan kepala.

"Aku yang membantu Sri mengirimkan foto itu kepada saudara Ayahmu. Ketika itu Sri sudah menikah dengan Arya Bagas dan punya seorang anak perempuan yang mereka bernama Sri Anna."

Penjelasan kali ini bukan hanya membuat Robi yang terperanjat kaget, tapi lebih mengagetkan Rara yang dari tadi mencoba berpikir menemukan benang merahnya di mana.

"Mohon Ibu cerita dari awal," pinta Rara. Kali ini ia ingin mendengar cerita sesungguhnya.

Wanita tua itu terlihat membenahi sandaran kursi tempat ia duduk. Mencari posisi yang nyaman untuk ia memulai sebuah kisah yang panjang. Sementara itu Robi dan Rara menyiapkan hati mereka untuk menerima kejutan demi kejutan yang akan datang.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang