"Bang, besok jemput aku jam 11 ya?" sebuah tanya dilayangkan Evita ketika mereka berjumpa.
Robi mencoba untuk tidak mendengarkan apapun. Sejak Robi mengetahui tentang perjodohan dan diatur tersebut, laki-laki itu seakan kehilangan keinginan dan kemauan untuk beramah tamah dengan Evita.
Jika dilihat dari kisah yang terjadi tidak ada salah Evita di sini. Sebagai gadis yang masih sendiri, ia bebas untuk jatuh cinta dengan siapapun. Namun, Robi tidak mampu dengan ikhlas menjalani ini semua.
"Bang." Kali ini Evita menepuk lengan sebelah kanannya dengan lembut. Robi terperanjat dan secepatnya merespon tanya tersebut sebelum kesulitan yang lain yang terjadi.
"Apa katamu tadi?" Terlihat betul perhatian Robi bukan pada gadis yang ada bersamanya kini.
Evita yang memahami makna hadirnya bagi Robi tetap bersabar dan menjawab, "Jam 11 besok Abang jemput aku."
"Kita mau kemana?" Sebuah pertanyaan yang semakin jelas arti Evita bagi Robi.
"Ke undangan pernikahan temanku. Dua minggu yang lalu sudah aku informasikan ke Abang," jelas Evita.
Robi terdiam. Ia lupa akan rencana ini. Walau Robi sudah mendapat izin dari Rara, sejak proyek perjodohan mereka membuat Robi enggan untuk pergi bersama Evita. Namun, untuk menolak Robi belum punya cara.
"Abang tidak bisa pergi?" tanya Evita dengan nada kecewa.
"Mudah-mudahan bisa." Sebuah jawaban yang mengandung unsur ketidakpastian. Bagi Evita itu lebih baik dibandingkan jika Robi langsung menjawab tidak.
Hari berjalan lambat. Kegiatan hari ini dirasakan Robi berjalan datar dan tidak menggairahkan. Robi berpikir keras apa yang harus ia lakukan agar semangat hidupnya kembali pulih. Sebuah ide terpikirkan sesaat. Ide ini harus dikerjakannya bersama Rara. Mudah-mudahan gadis itu bisa menemaninya.
Setelah menunggu beberapa saat. Akhirnya hubungan komunikasi dengan Rara yang ada di tempat lain tersambung.
"Apa kabarmu?" Sebuah tanya yang sederhana yang selalu dilontarkan Rara kepada Robi. Entah mengapa, hal ini membuat Robi selalu merasa bahagia.
"Aku baik. Hanya hatiku yang tidak." Sebuah kejujuran yang baik.
"Kalau begitu apa yang bisa kulakukan untuk mengobati hatimu." Rara kaget ketika ia mengakhiri usulannya.
Robi tersenyum di seberang sana. Gadis ini selalu punya cara untuk membuat ia bahagia. Padahal belum tentu apa yang diusulkannya tadi sanggup untuk dilaksanakannya nanti.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bisakah?"
Tidak perlu waktu lama untuk Rara berpikir, "Insyaallah. Hari ini aku free."
"Baiklah, tunggu aku di rumah."
"Di rumah?" tanya Rara heran. Senekat itukah Robi sekarang? Atau mungkin Rara yang belum siap. Apa yang mau dikatakan nanti dengan Mama dan Papa. Mereka hanya mendengar kisah darinya tidak menyaksikan secara langsung tokoh yang menjadi cerita Rara."Hai! Tidak boleh aku ke rumahmu?" Robi masih penasaran akan respon Rara. Baru kali ini ia merasa seorang gadis ketakutan jika prianya datang menjemputnya ke rumah.
Terdengar tarikan napas panjang diseberang sana dan akhirnya, "Baiklah! Aku tunggu di sini."
Secepat kilat Robi memutuskan percakapan. Mandi dan membersihkan diri serta memakai pakaian yang pantas nanti akan dilakukannya. Robi beranggapan ini adalah kencan pertamanya dengan Rara.
Ditempat lain, Rara pun tidak kalah hebohnya. Dari mulai bertanya pada Mama apa saja stok makanan yang tersedia, sampai mulai membenahi ruang tamu dan menambah aroma terapi diruangan tersebut. Bunga melati kesukaan Mama yang terletak disudut ruang, diganti dengan mawar putih kesukaannya. Mama dan Mbok Rah terheran-heran melihat kegiatan Rara sore ini.
"Siapa yang mau datang kemari?" tanya Mama ketika Rara sudah tampil manis dengan rok tutu berwarna gold dan blus brokat putih. Penampilan gadis berusia 27 tahun itu terlihat manis dan lebih segar dari biasanya.
"Teman Ma." Sebuah jawaban yang singkat tapi tentu saja tidak memuaskan bagi Mama.
"Teman laki-laki yang istimewa ya?" tebak Mama. Rara yang berada disampingnya terlihat sibuk membersihkan permukaan rok yang sebenarnya tidak kotor.
"Kenapa Rara harus demikian tegangnya. Wajar jika anak gadis dikunjungi oleh teman laki-lakinya."
Rara tersenyum. Namun yang ada didalam pikirannya sekarang tidak semudah apa yang barusan dibicarakan Mama. Mereka belum mengenal Robi secara keseluruhan. Rara hanya menceritakan tentang perjalanannya bersama Robi mencari ibu kandung Robi di Solo dan Jogja, tapi tidak menceritakan begitu banyak perbedaan diantara mereka. Salah satunya tentang keyakinan yang berbeda.
"Tidak masalahkan Ma?" Rara bertanya, takut nanti Mama tidak menyetujui kunjungan Robi ini.
"Kenapa harus jadi masalah sayang? Jika dia berkunjung dengan sopan. Mama akan melayaninya dengan baik. Hari ini adalah waktu yang tepat dia datang. Kita semua sudah lama tidak makan malam bersama."
Tawaran mama diluar khayalan Rara. Gadis ini sebenarnya setelah Robi datang nanti, berbincang sebentar kemudian mereka keluar mengunjungi suatu tempat yang akan didatangi Robi. Namun, penawaran dari Mama membuat Rara bingung.
"Hari ini Papa dan Bagas pulang cepat. Tadi Papa mengabari ingin makan malam bersama. Kebetulan Sri Anna juga ada di rumah. Lebih baik tamu Rara diundang sekalian makan malam. Setelah itu terserah Rara mau kemana dengan catatan jaga diri." Mama tidak menunggu persetujuan apapun. Wanita yang masih terlihat gesit di usia enam puluh tahun itu segera ke dapur. Memberi perintah pada para asisten rumah tangga untuk memasak untuk menu makan malam nanti.
Dalam kegelisahan Rara menunggu Robi. Di kamarnya Robi sudah hampir sukses membongkar seluruh isi lemari pakaiannya. Masih ada saja yang kurang ketika ia mencoba memilih pakaian yang akan dikenakannya. Dalam keputusasaannya Robi teringat perkataan Rara ketika mereka masih di Solo.
"Aku tidak pernah melihat laki-laki memilih warna burgundy untuk bajunya. Aku pikir itu terlalu norak. Namun, ketika melihatmu memakai warna itu pada kemeja ini, ternyata pemikiranku salah. Justru warna itu menyatu dengan dirimu. Aku menyukainya."
Begitu pendapat Rara ketika Robi mengenakan kemeja lengan pendek berwarna burgundy dengan celana warna hitam, ketika mereka pergi nonton film dimalam minggu. Seakan mendapat ide, secepatnya Robi mencari kemeja tersebut. Memakainya dan melapisinya dengan jaket santai berwarna hitam. Robi mengamati penampilannya didepan cermin, setelah merasa puas, dipacunya Pajero sport warna putihnya mengikuti map yang sudah dikirimkan Rara dari tadi.
Ditengah konsentrasinya mengemudi, gawainya berbunyi. Permintaan video call dari Evita terlihat dilayar gawai keluaran terbaru milik Robi. Sejenak kebimbangan kembali menghampiri. Diangkat atau tidak. Setelah sekian lama sebelum panggilan itu berakhir, Robi memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.
"Ya, Evi." sapa Robi sewajarnya.
"Abang terlihat rapi? Mau ke mana?" tanya Evita.
"Aku mau ke rumah Rara." Terlalu spontan dan polos. Itu yang dilakukan Robi. Keputusan itu sebuah pilihan yang baik untuk kondisinya saat ini.
Terlihat wajah kecewa dari Evita diseberang sana. Walau gadis itu berusaha untuk tidak menampakkan ya, namun ekspresi kecewa tergambar dengan nyata. Dan Robi Tidak menyesali itu.
"Baiklah. Hati-hati Abang. Kalau sudah sampai rumah telepon aku," pesan Evita.
Robi tidak sempat menjawab iya atau tidak akan pinta Evita terakhir tadi. Segera ia menutup pembicaraan. Lebih baik begini, lebih baik Evita tahu bagaimana sesungguhnya perasaannya pada Evita. Robi tidak bisa berpura-pura bahagia atau senang jika bersama Evita. Jika ia masih mau berteman, masih mau diajak pergi itu hanya dikarenakan rasa hormatnya pada Amang yang selalu memintanya untuk mengenal Evita. Jauh di lubuk hatinya, Robi paling mengerti bahwa rasa cinta dan sayang yang dimilikinya sebagai seorang laki-laki hanya untuk Rara seorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomancePertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...