Bab 9 : KERABAT AYAH

4 0 0
                                        

Perjalan kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Entah karena perut yang sudah kenyang atau mungkin juga karena Robi dan Rara sedang dalam kondisi tidak ingin bicata. Yang pasti mereka lebih banyak diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Mobil yang dikemudikan Robi melaju mulus meninggalkan perbatasan Solo. Angin laut sudah mulai dirasakan Rara menyentuh permukaan kulit wajahnya. Terasa ringan, damai, tenang dan segar.

Laki-laki di sebelahnya masih terdiam. Konsentrasi penuh pada tugas utamanya mengemudi.

"Kita sudah di Sleman?" tanya Rara mencoba memecah sunyi di antara mereka.

"Sudah. Tridadi lebih kurang tiga puluh menit lagi," jelas Robi tanpa mengalihkan pandangannya.

Kembali diam. Robi paham betul, kondisi ini tidak baik. Tujuannya membawa Rara bukan untuk saling diam seperti ini. Tapi entah kenapa pembahasan Rara tentang Evita membuat Robi hilang selera. Kalau kondisi seperti ini dibiarkan sudah pasti gadis ini akan meminta untuk pulang. Sebelum hal itu terjadi, biarlah Robi mengalah. Toh Rara juga tidak sepenuhnya salah.

"Lebih baik kau salat dulu." saran Robi bersamaan dengan azan Zuhur yang sudah berkumandang dari seluruh penjuru negeri.

"Iya. Berhentilah dulu. Kaupun bisa istirahat sejenak menunggu aku selesai salat." Rara menyetujuinya.

Robi mengarahkan mobil kearah selatan kota, sepertinya ia paham betul dengan daerah ini. Sepanjang perjalanan ini tidak sekalipun ia turun dan bertanya atau mengaktifkan gawai pintarnya bertanya dengan google map atau sejenisnya. Semuanya mengikuti naluri dan keyakinannya.

Pilihan yang tidak salah, ketika mobil yang di kemudikan Robi memasuki halaman sebuah mesjid besar dengan nuansa putih dan arsitektur Jawa kuno yang sangat kental. Rara merasakan keteduhan di sini.

Setelah meninggalkan ponsel dan dompet untuk dijaga Robi. Rara melangkahkan kaki memasuki pelataran mesjid yang luas. Meninggalkan Robi yang beristirahat sejenak di mobil. Keyakinan yang berbeda tidak memberi paksaan dalam pertemanan mereka. Saling menghargai dan mengingatkan ini yang tergambar.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan Rara untuk mengadu pada Tuhan, tidak menimbulkan masalah bagi Robi. Walau ia bukan umat Tuhan yang taat, tapi ia tetap memberi ruang yang luas dan lapang bagi Rara untuk beribadah, untuk bercerita secara langsung dalam sujud dan doa yang dilakukannya.

Rara menikmati setiap detik sujud yang dilakukannya hari ini. Akhir dari sujudnya di tutup dengan ucapan doa yang baik untuk keluarga, dirinya dan juga Robi.

"Kita lanjut atau kau mau istirahat dulu?" tanya Rara pada Robi yang tengah asyik duduk.

"Aku sudah buat janji dengan Pak Nurman. Beliau yang akan memandu kita." ujar Robi

"Jadi kita tunggu di sini saja?"

"Menurutmu mana yang baik?" Robi meminta pendapat Rara.

"Kalau posisi Pak Nurman tidak jauh dari kita. Lebih baik kita tunggu di sini saja. Tapi jika jauh, kasihan juga. Sementara dalam keadaan ini kita yang membutuhkan beliau!" usul Rara

Robi terlihat berpikir. Pertimbangan Rara menyiratkan sebuah pertimbangan yang matang. Kadang gadis tidak serapuh perkiraannya. Kebijaksanaan dalam mengambil sebuah keputusan membuat Rara lebih matang dari usianya.

"Baiklah, kita yang ke rumah Pak Nurman," ajak Robi sambil bangkit dari duduk dan menuju mobil dan membukakan pintu untuk Rara. Sungguh sikap yang sangat baik dari seorang laki-laki.

Jarak dari mesjid, ke rumah Pak Nurman sebenarnya tidak terlalu jauh. Lebih kurang lima belas menit perjalanan menuju utara Sleman. Lalu lintas yang tidak terlalu padat, membuat Robi bisa memacu kendaraannya sedikit lebih cepat dari biasanya. Tepat pada pukul setengah dua siang jam di dasbord mobil, mereka sudah sampai di sebuah rumah sederhana, berpagar bambu dengan sebuah pohon beringin besar yang berada di halaman rumah tersebut.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang