[Jika sudah selesai di sana. Jumpai Amang di tempat biasa]
Bergegas Robi merapikan berkas rapat yang sengaja ditinggalkan Luna untuk dipelajarinya kembali. Setelah menyelesaikan segala administrasi sewa menyewa tempat pada pihak hotel, Robi membawa Camry hitamnya menuju utara Surabaya.
Tempat biasa yang dimaksud Amang adalah sebuah rumah bergaya Eropa klasik yang berdiri megah disebuah lahan hampir 2 hektar. Ketika Bapak dan Ibu masih ada, Robi kecil sering di bawa ke sini. Entah sekedar menghabiskan liburan atau hanya sekedar menemani Bapak yang sedang ada pekerjaan di Surabaya. Rumah ini sangat pas sebagai tempat beristirahat dan menyepi dari keriuhan kota. Sejenak melepaskan lelah di sini seperti mencharge ulang baterai semangat.
Setelah menekan tombol kombinasi yang terdapat pada tembok pagar klasik yang menjulang tinggi, gerbang yang terbuat dari kuningan dengan ukiran klasik berbingkai Emas, terbuka dengan sendirinya. Camry yang dibawa Robi memutari halaman luas yang dipenuhi oleh pohon mahoni dan cemara yang tersusun dengan rapi dan bersih. Setelah melintasi halaman seluas lapangan bola di sebelah kiri dan kanannya. Akhirnya perhentian Robi sampai sebuah rumah dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi yang semakin memperkokoh tampilan bangunan tersebut. Warna putih dengan ornamen emas pada relief-reliefnya menambah kesan mewah dan berkelas pada rumah ini.
Amang berdiri dengan gagahnya di pintu masuk, seorang pelayan bergegas menyambut Robi dan membawa tas yang berisi pakaian yang tidak begitu banyak. Amang tersenyum bahagia, merangkul Robi dan membimbingnya memasuki rumah. Ruangan luas yang berisi dua set sofa berwarna merah marun dengan ukiran emasnya menjadi perhentian mereka. Di dinding sebelah kanan terdapat sebuah foto berukuran besar berbingkai emas yang terpasang dengan kokohnya.
Sejenak Robi menatap foto tersebut. Wajah Ayah dengan kumis khasnya menambah kesan tegas dan garang, sangat kontras dengan wajah Ibu yang lembut. Walau Ibu terlahir dari keluarga Batak, tapi kesan keras dan tegas tidak terlihat sama sekali. Robi masih ingat bagaimana Ibu yang akan membujuk dan membelanya jika ia dimarahi Ayah. Ibu akan datang memeluknya dan menenangkannya dengan suara lembut.
Sesaat netra Robi mulai basah oleh rasa rindu yang mendera hatinya. Rumah ini selalu punya keistimewaan di hati Robi, segala kenangan manis, pahit, suka dan duka tergambar dengan jelas disetiap jengkal tanah di rumah ini.
Sejak Ayah dan Ibu meninggal, Robi jarang kemari. Ini ia lakukan bukan karena tidak rindu tapi karena ia tidak sanggup menerima semua kenangan yang hadir dengan sempurnanya setiap ia datang ke sini.
Rumah ini adalah rumah keluarga bagi Robi. Di sini ia, Ayah dan Ibu selalu menghabiskan akhir pekan bersama. Kadang Amang ikut juga kemari. Sejak Ayah dan Ibu meninggal, Robi meminta Amang untuk tinggal di sini.
"Sudah lama kau tidak pernah kemari. Si Agus dan istrinya sampai termimpi-mimpi kau datang," kata Amang menghentikan lamunan Robi.
Segera diusapnya air mata yang sudah hampir menggenangi matanya. Ia tak mau Amang melihat air mata itu. Pantang laki-laki Batak untuk menangis.
"Pencarianku di Solo belum selesai. Lagi pula rumah ini terlalu besar jika aku sendiri kemari." Ucap Robi sambil memilih duduk di sebelah Amang.
"Makanya, bawalah pasanganmu kemari. Usiamu sudah cukup pantas untuk beristri. Jangan kau contoh Amangmu ini." Jelas Amang dengan suara keras dan tegasnya pada Robi.
Sejenak perbincangan mereka terhenti. Agus -- kepala pelayan di rumah ini datang membawa minuman dan makanan ringan. Wedang jahe dan perkedel singkong yang masih mengepulkan asap pertanda masih hangat, tersaji dihadapan mereka.
Setelah Agus pergi, Robi dan Amang langsung menikmati hidangan sore hari ini. Nikmat dan enak, wedang jahe dan perkedel singkong buatan Mbakq Sum -- istri Agus sungguh tak tergantikan oleh koki terkenal dari manapun. Setiap Robi datang ke rumah ini pasti dua hidangan ini selalu ada, dengan rasa yang tetap sama.
"Nak, aku serius dengan ucapanku tadi." Kata Amang pada Robi.
"Yang mana, Amang?" tanya Robi pura-pura. Ia paling tidak senang jika ranah ini yang selalu diungkit oleh Amang. Ini adalah topik sensitif untuknya.
"O, ya. Ada apa Amang menyuruhku kemari?" tanya Robi mengalihkan perbincangan.
"Namborumu menelpon Amang kemaren." Jelas Amang
Robi langsung kehilangan semangat. Kenapa nama itu kembali muncul. Robi sudah berusaha untuk menyingkirkan Namboru dan Evita dari hidupnya.
Namun justru Amang yang kembali memaksanya untuk mengingat, bahwa ia masih punya urusan dengan kerabat dari pihak Ibunya itu.
"Anak kesayanganku, dengarkan kata Amangmu ini. Usiamu sudah tidak muda lagi. Berpikirlah untuk berumah tangga, sebaik apapun laki-laki bujang tidak pernah sebaik laki-laki yang memiliki pendamping. Kau bisa lihat bagaimana bahagianya Bapakmu. Jangan kau contoh Amangmu ini. Aku sudah salah dalam menata hidup. Ku pikir dengan menjadi orang sukses dalam materi akan mengatasi semua rasa sepi sebuah kehangatan keluarga. Itu salah, Nak!" jelas Amang panjang lebar.
Robi semakin tidak paham arah perbincangannya dengan Amang kali ini. Apa tujuan Amang kembali menasehatinya tentang pernikahan. Mengapa setelah Namboru menghubunginya, Amang harus memanggilnya dan nya seperti ini.
Penilaian negatifnya pada Namboru dan Evita semakin bertambah. Bagi Robi mereka adalah pengganggu dalam kenyamanan hidupnya. Dan Robi tidak menyukainya.
"Berkawanlah kau dengan paribanmu itu. Jangan kau tolak hanya karena kau tidak menyukai ibunya. Kau pelajari dia dengan baik, Tuhan itu Sang Maha Penentu, jika Evita jodohmu yang sudah dipilihkan Tuhan, semua jalan kesana akan dimudahkan. Tapi jika tidak, semua proses akan sangat panjang dan berliku bagimu dan juga Evita. Tapi untuk sampai pada titik itu, kau yang harus mencoba membuka hati." Nasihat Amang dipikirkan Robi dengan baik, tapi Robi tetap diam tidak membantah ataupun melawan.
"Pergilah ke Jakarta bersama Evita. Amang dengar dia punya petunjuk yang akan membawamu untuk mengetahui dimana ibumu tinggal. Manfaatkan peluang ini untuk mengenalnya lebih dekat dan juga untuk menemukan jawaban yang selama ini kau cari." Pesan Amang sebelum laki-laki tua itu meninggalkannya sendiri untuk berpikir.
Di saat seperti ini sangat terasa betapa ia merindukan Rara. Gadis yang dicintainya. Gadis yang masih seumur jagung dikenalnya tanpa sengaja. Gadis yang punya banyak perbedaan dengannya. Tapi entah mengapa hal ini tidak menyurutkan langkah dan inginnya untuk tetap bersama dan berjalan berdampingan dengan Rara.
Mengenal Evita sebenarnya juga bukan hal yang merugikan buat Robi. Evita tidak pernah menunjukkan sikap kontra terhadap penolakan nya. Ia tetap sopan dan tetap hormat kepadanya. Ketidaksukaan Robi kepada namborunya, tidak membuat Evita ikut membencinya. Entah itu tulus atau hanya sebuah sandiwara pasti akan Robi dapatkan jawabannya jika ia mau membuka hatinya untuk menerima uluran tangan persahabatan dari Evita.
"Ra, bantu aku," desah hati Robi.
"Bantu aku Ra, untuk menyakinkan diri ini bahwa kau memang layak untuk kujaga dan kupertahankan." Pinta Robi dalam hati.
Sesaat rindunya pada Rara semakin menjadi. Ia tidak akan menunggu lama di sini. Secepatnya ia akan kembali ke Solo. Melepas segala rindu dan sesak yang mulai membebani hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
Любовные романыPertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...