"Aku antar kau ke hotel. Berisitirahatlah sampai di sana nanti," perintah Robi pada Evita sesaat setelah mereka meninggalkan rumah Rara.
"Kenapa tidak ke rumahmu?" tanya Evita sekaligus pinta hatinya.
"Nama baikmu yang harus kau jaga. Kalau aku tidak usah kau pikirkan. Aku laki-laki. Tapi apa kata orang jika ada yang melihat kau bermalam dengan laki-laki," Jelas Robi. Berharap semoga alasan yang disampaikan bisa diterima Evita.
"Baiklah," ucap Evita lirih
"Aku yang bayar sewa hotelnya. Setidaknya dua atau tiga hari ini kau di sana dulu," jelas Robi kemudian.
"Kau tidak akan mengunjungimu selama itu?" rengek Evita. Sungguh malang nasibnya. Datang ke tempat asing bersama laki-laki yang dicintainya bukan dilayani tapi justru ditinggal sendiri.
Robi mengabaikan protes Evita tersebut. Biarlah selama dua hari ini Evita sendiri dulu. Kalaupun ada rencana ia mengunjunginya, Robi akan minta Rara untuk menemaninya. Yang pasti Robi tidak menginginkan jika hanya berdua dengan Evita saja.
Setelah mengantar Evita ke kamar. Robipun pamit, ditekannya beberapa nomor yang sangat dihapalnya dengan baik, ditunggu nada sambung beberapa saat. Sampai terdengar suara Rara diseberang sana.
"Kau belum pulang? Masih dengan Evita? Kemana saja? Apa tidak lelah?" borongan pertanyaan yang diutarakan Rara membuat Robi tertawa ringan.
"Aku masih rindu. Tidak bisa menunggu besok untuk menuntaskan rindu kepadamu," ucap Robi jujur.
Terdengar hening di sana, "Apa kehadiran Evita masih mampu membuatku merasakan rindu darimu?" tanya Rara kemudian.
Robi tersenyum puas. Jawaban apa yang ingin didapatkannya dari Rara sudah tergambar dengan jelas. Gadis ini memang betul-betul apa adanya. Tidak bisa menyembunyikan rasa. Robi bahagia akan hal ini.
"Hei! Kenapa diam?" bentak Rara jengkel.
Sejak kehadiran Evita di sisi Robi, tingkat emosinya bertambah, ia pun tidak menyadari bahwa sikap ini memberi peluang bagi Robi untuk mengetahui isi hatinya yang berusaha untuk selalu ditutupinya.
"Aku senang kau cemburu," jawab Robi singkat.
Diseberang sana Rara sibuk mengendalikan debar-debar kecil didadanya. Mencoba mengurangi warna merah muda yang sudah bersemu diwajahnya. Untung di kamar ini ia sendiri. Sehingga ia tidak perlu menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
"Tidurlah! Besok aku jemput, temani aku mengunjungi Evita," pinta Robi.
"Kemana Evita?" tanya Rara penasaran. Kenapa tadi pulang bersama, sekarang tidak lagi bersama? Apa karena Robi berpura-pura agar Rara tenang dan tidak berpikir macam-macam.
"Jangan khawatir. Evita menginap di hotel," jelas Robi
"Oooo..." seru Rara bahagia. Ternyata Robi betul-betul menghargai perasaannya.
"Jangan berpikir negatif tentangku. Aku masih bisa berpikir sehat. Tidak sembarang orang terutama perempuan yang bisa datang dan menginap di rumahku. Hanya orang yang pantas untuk menemaniku sampai tua yang punya kehormatan untuk memasuki rumahku," urai Robi dengan sempurna sekaligus mengakhiri pembicaraannya dengan Rara.
Rara tersenyum bahagia. Laki-laki ternyata memiliki rasa yang sama dengannya. Tapi untuk mewujudkan impian Robi tadi, sungguh bukan perkara mudah. Perbedaan keyakinan di antara mereka adalah faktor penghambat terbesar di sini. Belum lagi latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Rara masih gamang untuk mengkhayal terlalu jauh.
Biarlah kedekatan mereka saat ini sama-sama di jaga dalam bingkai persahabatan dan kasih sayang. Semoga nanti, Tuhan akan menemukan cara dan jalan untuk mereka berdua. Ia tidak akan memaksa terlalu jauh atau juga berkhayal terlalu tinggi. Yang pasti saat ini ia bahagia bersama Robi. Begitu juga sebaliknya.
Tidak ada yang mengetahui arah perjalan hidup ini, sampai pada akhirnya kita hanya mampu mengikuti alur dan jalan kisahnya. Seperti itulah yang terjadi dengan Robi dan Rara.
Bertemu tanpa sengaja, di tempat yang tidak pernah direncanakan sebelumnya. Menjadi dekat tanpa paksaan, memahami tanpa harus merasa terbebani, dan lambat laun tumbuh getar-getar lembut yang menghujam hati, bukan sakit tapi nikmat, bukan terluka tapi bahagia.
Walau tidak ada janji yang terucap, tetap Robi dan Rara percaya bahwa rasa dan tujuan yang mereka miliki adalah sama. Mereka berjalan bersama dan bahu membahu menyelesaikan masalah yang di hadapi. Tampil sebagai penolong satu sama lainnya. Sungguh indah hubungan ini. Tidak dipaksa, tapi mengalir indah secara alami.
Pagi ini Robi bangun dengan bahagianya. Sebuah pesan indah masuk ke gawainya, menambah lengkap kesempurnaan rasa bahagia pagi ini.
[Sudah bangun? Segera mandi dan jangan lupa sarapan]
Pesan Rara merupakan sebuah vitamin tambahan di pagi ini, sehingga Robi menyelesaikan semua aktifitasnya, dari mandi sampai sarapan dengan perasaan bahagia, seakan Rara ada di sini mengamati dan melihatnya.
Tepat ketika Robi menyelesaikan tegukan terakhirnya pada kopi hitam yang diseduhnya dalam cangkir porselen. Pada waktu itu gawainya berbunyi. Sebuah nomor yang tidak diharapkan terpampang jelas dilayar depan gawai miliknya. Seketika rasa bahagia itu menguap dan digantikan oleh rasa yang pahit.
"Ada apa!" kata Robi tanpa basa basi
"Abang tidak kemari?" tanya suara diseberang sana.
"Kau jangan menungguku Evi. Buatlah kegiatan yang tidak melibatkanku," hardik Robi jengkel.
Telepon di seberang sanapun terputus tiba-tiba. Ada penyesalan di hati Robi ketika ia memperlakukan Evita seperti itu. Tapi untuk bermanis-manispun ia tak mau. Robi tidak mau membuat Evita menaruh harapan besar padanya. Ia ingin gadis itu menyadari bahwa ia tidak tertarik sama sekali dengan proyek perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka.
Dicoba Robi menghubungi Evita kembali. Ia ingin meminta maaf. Setelah dua kali gagal dengan telpon tidak diangkat. Untuk ketiga kalinya baru telepon diangkat dan terdengar suara Evita kembali.
"Maafkan aku, Vi," ucap Robi.
"Tidak sepantasnya aku memarahimu. Aku hanya ingin kau tidak tergantung padaku," kata Robi memberi penjelasan pada Evita.
"Aku merasa sepi di sini," keluh Evita.
"Sabarlah! Sebentar lagi aku ke sana. Bukankah kau berjanji untuk mengajakku mencari petunjuk tentang ibuku," ucap Robi. Mengingatkan akan tujuan Evita pergi bersamanya ke Solo.
"Iya," jawab Evita lirih, dan menutup telepon mengakhiri perbincangannya dengan Robi.
Ternyata Robi mengunjunginya nanti hanya karena ingin menyelesaikan petunjuk untuk menemukan keberadaan ibu kandungnya. Evita menyadari dimanfaatkan, tapi ia tidak akan lari, ia tidak akan berhenti. Ia mencoba mengikhlaskan dirinya melakukan banyak pengorbanan untuk Robi. Karena bagi Evita, apa yang dikorbankannya adalah bentuk dari besarnya rasa cintanya kepada Robi. Cinta itu butuh pengorbanan dan itu benar adanya.
Di tempat lain, Robi mencoba mengatur beberapa rencana. Ia mencoba memposisikan Rara dan Evita tidak berada dalam satu tempat dan satu waktu yang sama. Tapi Robi belum menemukan cara yang tepat.
Rencana keberangkatannya ke Jakarta semakin mendekati hari. Sesuai dengan rencana semula, Robi mengajak Rara, sekalian memberikan kesempatan pada gadis itu untuk kembali pulang.
Tapi apakah ia tetap akan melaksanakanya? Jika ia tetap terlaksana, kehadiran Evita tidak mungkin untuk diabaikan. Pesan Amang yang meminta Evita ikut dengannya ke Jakarta dan melakukan pencarian bersama adalah sebuah titah raja yang harus dilaksanakan oleh Robi.
Bingung dan bimbang itu yang dirasakan Robi sekarang. Biarlah nanti ia akan mendiskusikan dengan dua gadis itu secara terpisah. Untuk saat ini ia akan segera menjemput Rara untuk berjumpa dengan Evita.
![](https://img.wattpad.com/cover/247695487-288-k251304.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomancePertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...