Bab 28 : Diskusi

3 0 0
                                        

Robi kembali ke rumah dengan tubuh yang luar biasa lelahnya. Dengan menyiram tubuh lelahnya dengan air hangat dan menyeduh secangkir jahe lemon dan meminumnya, dapat mengurangi sedikit kelelahan yang di alaminya hari ini.

Sambil menunggu kantuk datang, diputuskannya duduk di depan laptop dan membaca laporan pekerjaan hari ini yang di kirim Luna setiap harinya. Lembar demi lembar laporan yang berisi pencapaian, target dan rencana dari beberapa departemen di pelajari Robi dengan teliti. Dicatatnya beberapa poin penting yang akan dibahasnya secara internal pada rapat yang di jadwalnya pada hari Rabu minggu depan.

Perusahaan yang dipimpinnya saat ini adalah perusahaan yang didirikan oleh Ayah angkatnya dan Amang Theo. Dua orang sahabat ini bekerjasama dengan baik, dari hanya dikenal sebagai perusahaan property skala kecil sampai kini, perusahaan mereka termasuk salah satu perusahaan multinasional, yang bukan saja mengurusi bagian properti tapi juga sudah merambah pada bidang jasa lainnya.

Setelah Ayahnya meninggal, Amang menjalankan perusahaan ini dengan baik. Semua waktu, tenaga dan pikiran tercurahkan sampai ia lupa untuk memikirkan kehidupan pribadi. Sehingga sampai usia senja datang menghampiri, Amang masih sendiri tanpa seorangpun yang mampu mengisi kekosongan hatinya.

Robi kecil yang ketika itu berusia tiga belas tahun harus menerima pahit kehilangan orang tua, adalah tempat Amang mencurahkan segala bentuk kasih dan sayang. Amang sudah menganggap Robi  seperti anaknya sendiri. Ketika usia tua sudah menjemput, perusahaan ini diserahkan sepenuh kepada Robi.

Bunyi khas panggilan pada gawai terdengar samar di telinga. Nama Evita tergambar jelas di layarnya. Robi menghela napas berat. Sekejap ia bimbang dan ragu. Mengangkat pasti nanti menyebabkan ia tidak bisa tidur dengan tenang. Tidak diangkat justru menambah keruh suasana yang hari ini suduah lumayan keruh.

Sehingga akhirnya setelah gawai itu berdering untuk ketiga kalinya, Robi menerima panggilan masuk tersebut.

"Abang sudah sampai rumah? Sudah mandi dan makan?" Rentetan pertanyaan membuat Robi bingung untuk menjawabnya.

"Semua sudahku kerjakan Evi."

"Abang masih marah padaku?" tanya llawan bicara Robi diseberang sana.

"Aku tidak mau marah lama-lama," jawab Robi seperlunya.

"Syukurlah. Aku takut Abang marah padaku."

Robi tertawa ringan.

"Ada apa kau meneleponku? Kurasa kalau hanya sekedar ingin tahu kabar dan ingin menyelidiki aku marah atau tidak rasanya hanya basa basi menurutku." Robi bicara apa adanya. Dengan Evita ia tidak bisa berbasa-basi, semua kata yang terlontar adalah yang dipikirkan bukan yang dirasakan. Jadi Robi tidak peduli apakan Evita akan senang atau justru sakit hati.

"Aku ingin mengajak Abang ke pesta pernikahan temanku."

"Kapan?"

"Sabtu depan. Abang bisa?"

"Belum tahu."

"Karena aku memberitahukan di awal. Aku harap Abang bisa mengosongkan jadwal untukku sabtu depan."

"Aku lihat dulu. Nanti aku kabari bisa atau tidaknya. Sudah malam, aku sudah capek." Robi tidak ingin berlama-lama bicara dengan Evita.

"Baiklah. Aku tunggu kabar baiknya." pesan Evita sebelum menutup pembicaraan.

Robi duduk terdiam beberapa saat. Sudah tepatkah jawabannya tadi? Sejenak ragu kembali memenuhi hatinya. Rasanya tidak nada yang berlebihan, Robi hanya mempertimbangkan dan tidak menjanjikan. Nanti ia akan minta izin Rara untuk hal tersebut. Bagi Robi pendapat dan izin dari Rara akan memberi ketenangan baginya dalam bertindak.

Kelelahan betul-betul sudah mendera seluruh jasmani dan rohani Robi malam ini. Dan akhirnya pemuda tampan dengan karakter wajah yang tegas itu menyerah kalah. Tidur adalah sebuah keputusan yang tepat. Biarlah hari ini selesai sampai disini. Hari esok akan tiba yang akan disambut dengan baik dan penuh suka cita. Sebuah nama disebutkan sebelum matanya terpejam. Robi ingin Rara datang dalam mimpinya. Berharap bahagia akan menjadi miliknya bukan hanya sebagai mimpi tapi juga menjadi nyata.

Tidak pernah Robi merasakan tidur senikmat ini. Penyakit insomnia yang dimilikinya kadang sangat menyiksa. Tidak jarang Robi baru bisa terlelap menjelang subuh dan sebelum matahari semakin terik ia sudah terjaga.

Beda dengan kualitas tidurnya tadi malam. Sebelum hari berganti, ia sudah terlelap. Dan sekarang sinar matahari pagi yang memenuhi celah dari jendela kamar membangunkan Robi dengan senyuman.

Tadi malam ia bermimpi tentang Rara. Gadis itu tersenyum dan berjanji akan selalu ada untuknya. Walau hanya sebuah mimpi, bagi Robi itu seperti nyata. Rona bahagia jelas tergambar pada wajahnya.

"Sudah bangun?" Sebuah tanya dilayangkan Robi ketika di seberang sana panggilan jarak jauhnya direspon.

"Sudah dari tadi. Kau sendiri?"

"Baru bangun. Aku kesiangan ya?" tanya Robi malu pada Rara.

Rara tertawa ringan. "Untuk ukuran mu jam 7 pagi belum tergolong kesiangan."

Robi tersenyum. Rara betul-betul memahami dirinya. Kebersamaan mereka sudah mampu membuat Rara belajar tentang segala hal yang menjadi kebiasaan dan kesukaan Robi.

"Tadi malam kau hadir dimimpiku," ucap Robi.

"Mimpi yang baik? Atau tidak?" tanya Rara.

Sejenak Robi memperbaiki duduknya. Ia menemukan posisi yang nyaman untuk berbincang dengan Rara pagi ini.

"Tentu saja yang baik. Kalau tidak, lebih baik kau tidak mengetahuinya."

"Kata Mama, jika kita memimpikan seseorang itu tandanya ada sesuatu hal yang belum diselesaikan dengan orang tersebut." Sebuah analisa dibuat Rara.

"Sepertinya kata Mama itu betul."

"Kalau begitu yang belum selesai untuk kau sampaikan padaku?" tanya Rara.

"Rinduku yang belum selesai padamu."

Diseberang sana Rara mencoba mengusir debarannaneh yang kembali muncul setelah sekian lama hilang. Sebuah debaran yang tidak menyakitkan selalu dirasakan setiap kali Robi bicara tentang rasa.

"Selain rindu apa lagi yang ingin kau bicarakan?" Rara mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Sejenak Robi teringat permintaan Evita tadi malam. Apakah saat ini waktu yang tepat untuk membahasnya dengan Rara? Sejenak Robi ragu. Ia khawatir jika nanti topik ini justru akan membuat perbincangan mereka jadi tidak menarik lagi. Namun, jika tidak sekarang kapan lagi.

"Hai! Kenapa diam. Sayang pulsamu berjalan tanpa ada perbincangan." Suara Rara kembali menyadarkan Robi.

"Aku minta pendapatmu secara jujur. Jika kau bilang tidak ataupun iya itu yang akan ku jalani."

"Baiklah! Semoga aku bisa memberi sebuah keputusan yang baik untukmu."

Sejenak Robi minta izin untuk minum terlebih dahulu. Air putih yang menyegarkan selain baik untuk kesehatan mampu memberi kelegaan pada Robi.

"Evita, mengajakku pergi ke pesta pernikahan kawannya Sabtu minggu depan. Aku minta pendapatmu."

Cukup lama Rara terdiam. Gadis itu memikirkan jawaban terbaik yang nanti sedikit banyaknya pasti akan mempengaruhinya. Namun, apa yang diinginkan Robi sekarang adalah sebuah keputusan yang harus di ambil. Sebuah keputusan yang akan dilaksanakan Robi tapi tidak disesali oleh Rara.

"Pergilah! Tidak baik juga jika kau selalu menghindarinya. Setidaknya walau dihatimu terasa berat, kau harus bisa menghargai hubungan keluarga yang ada diantara kalian."

Sebuah keputusan sudah dibuat. Selanjutnya Rara menyerahkan kepada Robi untuk melaksanakannya seperti apa. Semoga laki-laki ini bisa dengan bijaksana menjalankannya tanpa membuat Rara kembali terluka.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang