Dia Berubah

7.8K 115 13
                                    

Rere membuka matanya perlahan kala sinar matahari memasuki celah gorden. Dia menggosok matanya lalu bangkit menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Setengah jam kemudian Rere turun dari lantai dua dengan seragam ketat dan rok yang panjangnya di atas lutut. Penampilannya jauh berbeda dengan minggu pertama ia masuk sekolah baru.

“ Udah siap, Re? Ayo sarapan sama-sama. ” ajak Mama Leo ramah.

Rere menggeleng, “ Piket. ” jawabnya singkat, melintasi ruang makan tanpa menoleh ke arah Tante dan Omnya yang menatapnya bingung.

Rere mengenakan kasus kaki dan sepatu cepat, bergegas keluar rumah.

“ Rere dimana, Ma? ” suara Leo menginterupsi perhatian orang tuanya yang masih menatap kepergian Rere.

Papa mengedikkan bahu, “ Dia bilang ada piket jadi pergi duluan. ” jawabnya sesuai alibi Rere tadi.

Wajah Leo pucat.

“ Kenapa kamu? ” Mama memandang Leo curiga. “ Kamu nggak ngelakuin yang bikin Rere nggak nyaman kan? ” selidiknya tak berhenti.

Leo tak menjawab, mengambil kotak makannya dan Rere di meja makan lalu melesat keluar. Tapi sayangnya saat tiba di luar, ia sudah tidak melihat siluet tubuh mungil Rere.

Leo meremas tinjunya erat. Ia bergegas memasuki mobilnya dan melaju ke sekolah dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sementara itu Rere sudah menapaki anak tangga terakhir menuju kelasnya. Karena kelas MIPA 1 ada di setelah tangga, ia langsung masuk ke dalam dan duduk di tempatnya tanpa banyak bicara.

Vino mengubah kepalanya menoleh melihat Rere yang tampak lebih dingin dari biasanya. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dalam semalam membuatnya tak mengenal wanita di sampingnya saat ini.

“ Re, ” panggil Vino pelan.

Rere tak menggubrisnya. Dia sibuk membaca buku pelajaran di tangannya.

Vino mengangkat kepalanya, ia merasa tidak nyaman diacuhkan seperti ini. “ Rere. ” pria itu kembali memanggil, kali ini nadanya lebih serius dan lebih lembut.

Rere masih tak bergeming di tempatnya. Matanya terlihat suram, tidak seperti biasanya yang penuh cahaya.

Vino menghela napas. Emang salah gue. Leo juga bego, pake ngomong gitu di depan Rere, dikira dia cermin apa. Tapi gue juga nganggep dia bayangannya Crystal...

Sepanjang pelajaran Vino sama sekali tak bisa diam. Ia terus melirik ke samping, mencuri pandang wanita di sampingnya. Ia terus memarahi Leo dalam hatinya tapi dia juga tidak berani mengatakan apa-apa karena dia sendiri juga salah. Memangnya siapa yang mau menjadi pengganti sosok orang lain? Vino mentertawakan pemikirannya sendiri dengan frustasi.

Di tengah pelajaran kedua, Rere beranjak berdiri lalu mengatakan sepatah dua patah kata pada Bu Melin sebelum keluar menuju toilet.

“ Hahhhh susah banget duduk di sebelahnya. Gak nyaman fuck! ” gerutu Rere karena risih dipandangi sedemikian rupa oleh Vino. Ia menenggak botol minum kecil yang diambilnya dari kulkas tadi pagi sampai tandas.

Tapi sayangnya ia masih kesal dan menyalakan kran membasuh wajahnya dengan air dingin. Di antara kakinya ia merasa agak gatal dan menggesek-gesek pahanya. “ Gue gak ngapa-ngapain kok horny, sih?! ” umpatnya.

Rere menatap botol yang dipegangnya curiga. Ia mendekatkan hidungnya dan membanting botol itu ke lantai hingga pecah. “ FUCK! KENAPA DIKASI OBAT PERANGSANG SIH!? ” wajahnya memerah karena kesal dan terangsang di waktu bersamaan.

BALRESTA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang