Luka

5.7K 96 3
                                    

“ Lo beneran mo pindah ke penthouse gue? ” Ferro menatap wanita yang hanya setinggi pundaknya serius.

Rere mengangguk, “ Ga nyaman tinggal disini, gue ngerasa nggak bebas ditambah lagi gue nggak suka dianggep sebagai orang lain. ” keukeuhnya.

Ferro menghela napas. Ia tak bisa menahan tangannya untuk mengelus kepala Rere, “ Kalo lo beneran nggak mau gue gak bakal maksa sih selama lo gak aneh-aneh. Apalagi lo tau kan gue pria dewasa, single, masih ganteng juga, emang lo ga takut dibilang simpenan bos besar? ” tanyanya tak lupa memuji diri sendiri.

Rere memutar bola matanya malas akan kenarsisan tingkat dewa Ferro, “ Nggak bakal ada yang ngomongin selama lo gak bikin pengumuman atau antar jemput gue secara pribadi. Beres kan? ” ia melanjutkan, “ Lagian gue masih adek ipar lo selama gue belom denger kata putus dari Reno. ”

Ferro melihat mata Rere agak merah, dan tidak bisa menahan mengusap sudut matanya, “ Lo bego. Lo tau Reno udah nggak di dunia yang sama tapi lo masih keukeuh nunggu dia bilang putus. Lo tau kan kalo lo gini terus bisa-bisa lo nggak akan nikah seumur hidup? ” tanyanya menatap mata Rere.

Rere berkedip, air mata jatuh dari sudut mata, “ Sampe gue beneran ikhlas atas kematian Reno, saat itu gue baru bisa nyari pria lain. ” ucapnya samar.

Ferro menghela napas lagi. Ia tersenyum getir, “ Kalo gitu gue bakal doain yang terbaik buat lo. ” dia mendongak, mengerjapkan matanya agar air mata tidak jatuh. “ Nomong-ngomong lo mau pindah kapan? Mobil gue belom dianter jadi gue gabisa stand by jemput lo langsung. ”

“ Oh... ” Rere mengerutkan kening, “ Hmm... Besok aja sepulang sekolah. Lo kasi tau alamatnya aja. ” ia menjawab setelah berpikir.

Ferro mengangguk, “ Terus lo kapan bilangnya ke Om sama Tante lo? ”

“ Besok pagi waktu sarapan. ” ujar Rere langsung tanpa pikir panjang.

Ferro membukatkan bibirnya, menarik tangannya. “ Yaudah gue balik dulu, good night! ” bibirnya melengkung membentuk senyum hangat.

Rere ikut tersenyum, “ Night too, kakak ipar! Hehehe... ” ia jadi terkekeh mendengar panggilannya sendiri pada kakak kekasihnya.

Ferro mengangguk, masuk ke dalam taksi lalu melambaikan tangan pada Rere. Rere membalas lambaian tangan Ferro hingga taksi menghilang di kejauhan.

Baru saja ia berbalik ketika matanya bersitatap dengan mata gelap Leo di balkon. Dia menaikkan alisnya acuh lalu membuka pagar dan masuk.

Rere mengulurkan tangannya hendak membuka pintu kamar namun sebuah tangan besar lebih dulu mencengkeram erat lengannya. Rere menghembuskan napas kesal, “ Lo ngapain, sih? ” kepalanya beralih menghadap Leo.

Leo balas menatapnya dingin, “ Tadi itu siapa? ” tanyanya dingin.

Rere menghempaskan tangan Leo tapi Leo tak bergeming, tetap menahan lengannya. Rere mendengus, “ Apa urusannya sama lo? Dia siapa gue juga lo gak berhak tau. Minggir! Gue capek! ” ia menyentak tangan Leo langsung masuk ke dalam kamar.

Leo terdiam. Dia masih tak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Leo tersenyum pahit. Apa ini masih Rere yang sama? Bisiknya pahit.

Entah apa yang dipikirkannya saat secara terang-terangan mengungkapkan alasan pertama saat bertemu Rere pada Vino. Mungkin dia sudah gila. Atau mungkin juga itu bukan dia.

Leo tak bisa menahan tubuhnya lagi hingga jatuh terduduk di lantai dingin. Dia menekuk kakinya, memeluk lutut erat. Kepalanya tenggelam di sela lutut tak bisa menahan sikap dinginnya. Ekspresinya runtuh menjadi sendu.

BALRESTA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang