Keluarga Kecil Papa

1.1K 28 1
                                    

“ RERE! ” suara yang sudah lama tak terdengar itu membuat Rere menoleh ke sumber suara. Tapi sebelum dia menyahut, suara lain segera menginterupsinya.

“ Maaf gue telat. ” suara bariton memotong tindakan Rere bersama dengan telapak tangan besar memeluk pinggangnya menyatakan kedaulatan.

Pupil Vino menyusut. Menatap kedepan linglung. Dimatanya Rere adalah Crystal. Amarah tanpa sadar menyala di kedua mata itu.

Vino bergegas maju, menarik Rere ke dalam dekapannya.

“ Lo jangan berani meluk cewek gue! ” tegasnya menatap nyalang pada pria dengan setelan jas dan kemeja itu. Vino merasa wajah pria itu tidak asing tapi ia tidak terlalu peduli. Dia hanya tau pria itu sudah memeluk Crystalnya.

Rere mendorong Vino. Dia bukan tidak tahu kalau saat ini Vino melihatnya sebagai Crystal, tidak, sejak awal memang dia tau Vino selalu melihat orang lain melalui dirinya tapi dia tidak peduli karena dia tidak tau kalau orang lain itu tidak lain adalah saudara perempuannya.

Rere berusaha lepas dari lengan Vino tapi tenaganya jauh lebih lemah darinya apalagi Vino memeluknya dengan keras kepala dan sangat kuat. Ia menatap Arthur tanpadaya.

Arthur menatap Vino dingin. Bibirnya timbul lengkungan mengejek, “ Sejak kapan calon nyonya muda Fedelian menjadi pacar putra tunggal keluarga Graham? ” ucapnya mengejek.

Vino tercengang. “ Lo bilang siapa calon nyonya muda Fedelian? Rere? BalrestaAmalia? ” tanyanya dengan nada tinggi dan tidak percaya.

Memanfaatkan keterkejutan Vino, Arthur menarik paksa lengan yang melingkari pinggang Rere. Memindahkan tubuh mungilnya ke pelukannya dalam keadaan kaget.

Bukan hanya Vino yang terkejut atas ucapan Arthur,bahkan Leo yang berdiri tak jauh merasa telinganya mungkin perlu dibawa ke THT.

“ Ya. Balresta Amalia, Rere, dia adalah calon nyonya muda Fedelian. Jadi saya harap anda tidak merebut calon istri saya atau mengaku-ngaku sebagai pacarnya. ” Arthur berbalik dengan Rere di pelukannya, berjalan pergi.

“ Tunggu! ” Vino berteriak, matanya penuh kegilaan menatap wanita di pelukan Arthur, “ Sebelum Rere sendiri yang bilang kalau dia nyonya muda Fedelian, gue nggak akan percaya. ” ujarnya keras kepala. Tidak mau percaya begitu saja dari ucapan ‘orang luar’.

Arthur berhenti, memiringkan kepalanya ke bawah bertatapan dengan mata jernih Rere. Entah kenapa Rere gugup ditatap oleh Arthur. Pipinya merona.

“ Gue emang calon istri Arthur, jadi jangan cari gue lagi. ” ucap Rere tanpa menoleh ke belakang karena tak mau Vino mengharapkan sesuatu yang mustahil darinya. “ Dan satu lagi, gue bukan Crystal dan nggak akan pernah jadi dia, gue harap lo bisa ilangin kegilaan lo terhadap gue sebelum Crystal bener-bener kecewa sama lo di alam sana. ”

Arthur tersenyum puas. Menarik tangan Rere ke dalam genggamannya lalu berjalan ke mobil tidak jauh. Vino menatap kepergian mereka dengan putus asa. Hatinya terasa kosong lagi. Rasa sakit karena kepergian Crystal kembali menyelimuti hatinya. Tangannya mengepal. “ Lo bener, Re, lo bukan Crystal. Crystal... Dia udah nggak ada di dunia ini, dan ini semua karena gue yang nggak berguna. ” Vino menunduk menatap aspal. Air matanya kembali mengalir dari kedua matanya setelah terakhir kali menangis di pemakaman Crystal.

“ AHAHAHAHAHA GUE EMANG GILA! GUE GILA KARENA KAKAK LO MENINGGAL!! GUE JUGA PENGEN BAHAGIA! TAPI GUE BAHKAN NGGAK BISA LEPAS DARI SEMUA INI! GUE GILA, CALON ISTRI DAN ANAK GUE MATI KARENA GUE GAK BECUS JADI SEORANG PRIA! Gue kehilangan segalanya. Kehilangan sosok yang pernah jadi penyemangat hidup gue...” mata Vino buram, pria itu berteriak tanpa menghiraukan pandangan orang-orang di sekitarnya. Di akhir kalimat ia seolah kehabisan energi, suaranya semakin mengecil dan serak. Dia menunduk, tak berani lagi menatap wajah Rere dan Arthur lalu berbalik berjalan terhuyung-huyung seolah akan jatuh di detik berikutnya, seolah teriakan barusan adalah tenaga terakhirnya.

Rere membekap mulutnya, menangis tanpa bersuara. Dia menatap pria lesu yang berjalan pergi dengan mata penuh lelehan air mata. Sangat berbeda rasanya membaca apa yang terjadi dengan mendengar sendiri dari mulutnya. Rere tau kematian Crystal tidak bisa dibebankan pada Vino seluruhnya, tapi itu tidak menutupi fakta kalau dia masih membenci sekaligus iba pada pria itu karena meski tau dia adalah saudara perempuan calon istrinya, dia masih keukeuh mengejarnya dengan tatapan gila karena rasa tak ikhlasnya atas kepergian Crystal.

Arthur menarik kepala Rere bersandar di dadanya, membelainya lembut. Dia tidak mengucapkan apa-apa untuk menghibur Rere, hanya memeluk dan membelainya seolah dia adalah hal paling berharga di hidupnya.

Kadang hidup memang aneh, sehari sebelumnya masih tenang dan bahagia, tapi besoknya terjadi hal yang paling menyakitkan. Dan kadang apa yang terjadi tidak sesuai keinginan, sehingga kita merasa sangat putus asa. Seperti keadaan Vino saat ini. Dia tersadar seketika dari ilusi yang dibuatnya yang memukul langsung harga dirinya. Padahal Vino sendiri tau Rere tidak bisa disalahkan. Takdir juga maha benar. Jadi dia hanya bisa melangkah gontai tanpa tujuan.

Yang dia inginkan hanya satu. Bertemu dengan kekasihnya, calon istrinya, calon ibu dari anaknya, dan juga anaknya yang belum sempat menyapa dunia.

☆☆☆

Langkah Vino mandek menatap papan nama di depannya linglung. TPU Karet Bivak. Tempat Crystal beristirahat yang terakhir.

Pikiran Vino menjadi sedikit jernih. Rasa rindu yang selama ini ia tahan kembali membuncah hebat memporak porandakan hati dan pikirannya. Langkah kakinya dipercepat menuju suatu tempat dengan tepat.

Ketika matanya menangkap dua nisan dengan nama ‘Adenia Crystal’ dan ‘Alviro Graham’, tanpa sadar kakinya melambat. Vino berhenti di depan makam Crystal, menatap tanah dengan seikat aster layu penuh kerinduan, matanya mengembun. Vino perlahan jongkok diantara makam calon istri dan anaknya. Ia membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar makam dengan mata yang semakin merah dan buram oleh air mata.

Setelah semua rumput dicabut, Vino mengelus kedua nisan dengan sangat lembut dan hati-hati seolah takut akan merusaknya jika memberinya sedikit tekanan lagi, ia menatap satu per satu dengan penuh kasih sayang.

“ Halo keluarga Papa, maaf ya Papa terlambat jengukin kalian. Papa takut. Papa masih nggak mau percaya kalian ninggalin Papa. Ma, Papa sayang Mama,maaf karena udah menduakan Mama. Tapi Papa nggak bener-bener punya niat untuk selingkuh, cuma wajahnya miripp banget sama Mama. ” Vino mengusap matanya kasar, “ ...dan ternyata dia adalah kembaran Mama. Papa minta maaf, Ma, Papa harap Mama mau maafin Papa. Maaf juga karena tanpa sadar Papa nyakitin Mama. ”

Tes.Tes.

“ Hehe Papa nangis, Ma, percaya nggak? ” ucapnya pada nisan di sebelah kanan. Dia mengusap nisan itu sekali lagi, rasa rindu semakin meluap menenggelamkan hatinya. “ Ma, Papa kangen, Papa nggak kuat terus disini tanpa Mama. Papa pengen sama Mama lagi. ” Vino beralih menatap nisan bertuliskan nama putranya.

“ Nak, kamu marah ya sama Papa? Pasti marah karena Papa nyakitin hati Mama kamu dan bikin Mama nangis disana. Nak, untuk sementara kamu mau kan bantu Papa jaga Mama, jangan sampai Mama kamu digodain sama hantu ganteng ya. Papa sekarang masih nggak bisa kesana,Papa masih harus lulus sekolah dan bantu Kakek kamu ngurus perusahaan. Papa janji Papa akan secepatnya nemuin kalian. Nanti setelah ketemu kita hidup bareng dan bahagia ya? ”

“ Papa nggak akan cari Mama baru. Papa akan ngadopsi anak dari panti asuhan dan akan Papa didik sebagai pewaris keluarga, jadi nanti kamu akan punya saudara yang nggak sedarah. Jangan nakal ya sama saudaranya haha...” Vino tertawa pahit. Menghembuskan napas panjang, menenangkan emosinya.

“ Tal, kamu yang sehat disana, jangan melipir ke hantu ganteng ya, inget kamu udah punya aku sama Viro. ”
“ Viro juga,jaga diri kamu dan Mama ya,Papa percaya kamu bisa. Masa jagoan Papa gabisa sih. ”

Vino menatap kedua nisan bergantian dengan enggan. Dia tidak mau pergi tapi sebentar lagi matahari terbenam, tidak mungkin dia tidur disini. Kalau digodain hantu cantik gimana?

“Hhh... Yasudah Papa pulang dulu ya, besok Papa kesini lagi nengokin kalian. Seeyou. ” Vino mencondongkan tubuhnya ke depan mencium nisan Crystal dan
Alviro bergantian sebelum berdiri dengan berat hati. Menatap nisan untuk yang terakhir kalinya, Vino berbalik pergi dengan langkah berat.

.

.

.

To be continued

BALRESTA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang