Rere menepuk-nepuk tangannya setelah melempar sekresek besar sampah rumah tangga ke truk pengangkut. Karena bibi pembersih yang biasanya datang seminggu sekali sedang sakit, maka dialah yang harus membawa sampah dari rumah ke depan pagar. Rere mengendus telapak tangannya mengernyit jijik. Tanpa basa-basi ia masuk dan mencuci tangan di tempat untuk mencuci tangan yang disediakan di depan rumah sebelum masuk.
“ Udah? ”
Rere mengangangguk. “ Perut lo masih sakit? ” tanyanya menghampiri Arthur yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan tubuh babak belur, bahkan pipi mulusnya juga lebam. Pria itu tidak menjawab, hanya menempelkan es batu yang dibungkus kain perca pada lebam di bahunya. “ Gue siapin air anget dulu buat lo mandi. ” tanpa menunggu jawaban, Rere bergerak menuju kamar mandi.
Rere menyetel air panas lalu mencampurnya dengan air dingin. Setelah mengecek suhu air, ia keluar menghampiri Arthur.
“ Ayo mandi dulu, bersihin badan lo biar nggak keringetan. Mau gue bantu ke kamar mandi nggak? ” tanyanya seraya mengulurkan tangannya.
Arthur mengangguk, meletakkan tangan besarnya di telapak tangan Rere lantas berdiri dengan dibantu wanita itu. Rere memapah Arthur perlahan, takut membuka luka di perutnya.
“ Sebenernya kalo lo mau tadi gue bantu ngelapin tubuh lo pake kain aja. Dokter juga kan nggak ngebolehin lo mandi dulu. Gue seka aja ya? ” bujuk Rere lagi.
Arthur terkekeh, menggeleng, “ Gue nggak papa kok, luka gini doang mah nggak kerasa. ”
Rere berhenti membujuk, membantu Arthur melepas celana serta celana dalamnya. Tangannya membelai perban yang melilit perut Arthur, merasa tertekan dan ngeri. Arthur tersenyum kecil melihat reaksi Rere, tangan kanannya membelai pipi Rere yang kembali basah, “ Nggak papa, gue beneran nggak papa, Re. ” hiburnya menenangkan Rere.
Rere menggigit bibirnya dengan mata berkaca-kaca menatap balik Arthur. “ Gue tunggu di depan kamar mandi, kalo ada apa-apa panggil gue. ” ia membantu Arthur masuk ke dalam bak mandi dengan penuh perhatian memperhatikan ekspresi Arthur yang tidak berubah meski lukanya terkena air, merasa semakin sedih. Rere berbalik hendak pergi ketika tangannya ditangkap dan dicium, “ Tunggu disini aja, boleh kan? Gue nggak bisa gerak berlebihan. ”
Rere mengangguk tanpa menoleh ke belakang, ia menyeret kursi bundar aluminium dari pojok ruangan lalu duduk menghadap bak mandi dengan wajah merah. Entah itu memerah karena uap air atau malu, tidak ada yang tau.
Rere menemani Arthur mandi dan membantunya dengan telaten. Mengambilkan sabun, menggosok punggung dan kaki, lalu dengan hati-hati menyeka sabun di sekitar lukanya agar tidak perih.
Setelah mandi dia juga membantu Arthur mengenakan pakaian dan mengganti perban di perutnya.
“ Kenapa sih lo nggak mau nginap di rumah sakit aja, kalo nginap kan Dokter bisa mantau kondisi lo. ” ujar Rere saat memasak makanan di dapur.
Arthur duduk di kursi depan pantry, menyesap tehnya dengan elegan, “ Kalo nginap di rumah sakit nantinya orang rumah bakal dikasih tau sama pihak RS dan mereka akan langsung tau kalo gue abis diserang sama perusahaan lawan. Gue nggak mau Mama khawatir. ”
Rere cemberut, “ Padahal kan lawan juga perusahaan resmi, kok nyerangnya diam-diam, apa nggak takut ketangkep polisi? ” dumelnya.
Arthur tertawa kecil, “ Kalo ada uang kenapa harus takut? Lagipula nggak semua perusahaan resmi kayak gitu, ada juga yang jujur langsung berhadapan di muka publik. ”
“ Hmph! Tapi meskipun punya banyak uang kan nggak boleh sewenang-wenang! ” dengus Rere kesal memotong wortel dengan keras hingga berbunyi letupan. “ Kayak kata lo kalo ada juga perusahaan resmi yang main jujur, terus kenapa yang lainnya nggak bisq gitu juga? ” ucapnya sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALRESTA ✔
Storie d'amoreKehidupannya sejak masih kecil hingga kedua orangtuanya meninggal selalu tanpa kasih sayang keluarga. Hanya Reno, teman masa kecil dan pacarnya yang membuatnya mampu bertahan. Tapi sayangnya Reno harus pergi ke tempat yang jauh, jauh sebelum kedua o...