Prolog

36.7K 3.1K 183
                                    

"Guys, pengumuman rangking paralel udah ditempel!"

Seharusnya, siswa yang pertama kali menemukan daftar sepuluh siswa terbaik dari tiap kelas 10, 11 dan 12 itu diam saja. Kalau pun berniat membaca, lebih baik hanya dalam hati. Lebih bagus lagi, jika sepagi ini ia tidak perlu terlalu rajin memeriksa mading utama, berteriak di tengah koridor dan membuat setiap siswa yang mendengarnya berlarian. Saling senggol. Saling tepuk. Saling tebak. Saling menyalahkan. Dan saling lainnya.

Sekejap, papan mading tanpa kaki yang menggantung di koridor utama, berukuran 200 cm x 80 cm meter itu berubah menjadi primadona. Tangan-tangan terulur dari segala penjuru. Bergerak dari atas ke bawah. Dari kiri ke kanan menyusuri daftar nama-nama siswa terbaik semester ganjil yang tertempel di balik kaca.

Dalam waktu yang juga sama singkatnya, berbagai reaksi dalam bentuk suara memenuhi pendengaran. Saling timpal menimpali. Bising. Seperti dengung lebah. Bertambah parah begitu para pemilik nama yang sedang dibicarakan mulai bermunculan. Membawa serta persaingan tak kasat mata di belakang mereka. Menguarkan aroma yang memiliki kemampuan serupa hipnotis. Mempengaruhi murid sekitar yang langsung terbagi dalam dua kubu.

IPA dan IPS.

Ruang kosong di depan mading perlahan melebar begitu seorang murid perempuan berambut sebahu maju. Ujung telunjuknya menempel di kaca, bergerak perlahan menelusuri daftar rangking paralel kelas 11 dan langsung terhenti tepat di urutan pertama.

Ivorya Silvana Dewi - Rangking Paralel 1 – 11 IPA 1

Bibir Ivory berkedut menahan senyum. Rasa puas memenuhi rongga dada. Ia berdehem pelan, menyamarkan rasa senang yang membuncah. Ivory tidak ingin terlihat terlalu bahagia. Apalagi dirinya sebagai siswa jurusan IPA, kembali berada di puncak prestasi yang bisa dicapai seorang siswa. Mengalahkan siswa jurusan IPS—seperti tahun-tahun sebelumnya. Mengalahkan Fuchsia dan Mint, musuhnya.

Pura-pura penasaran, Ivory kembali menarik telunjuknya turun, memeriksa empat nama lain.

Milo Gautama – Rangking Paralel 2 – 11 IPA 1

Tentu saja, teman sekelas yang juga berdiri di sampingnya dan hanya memasang tampang lempeng itu harus berada di urutan kedua.

Navian Adraha – Rangking Paralel 3 – 11 IPS 1

Ivory tahu tentang Navy, tetapi semester lalu bahkan semester-semester sebelumnya, rangking tiga paralel masih ditempati siswa jurusan IPA.

Ada yang berbeda dengan semester ini.

Radar persaingan Ivory tiba-tiba mendeteksi ancaman. Ia memindai rangking empat dan lima dengan cepat. Ditatapnya berulang kali untuk memastikan. Dan membacanya bolak balik dari atas ke bawah, dari rangking empat kelima, kelima dan keempat lagi, ke satu hingga kelima, kelima hingga ke satu lagi hingga berulang kali, dua nama di urutan terakhir di lima besar itu tidak berubah.

Amanda Fuchsia Aubre Liora – Rangking Paralel 4 – 11 IPS 3

Peppermint Jayantaka – Rangking Paralel 5 – 11 IPS

Sesuatu mulai terasa menggelitik.

Fuchsia, sepupu sekaligus musuhnya itu ... bagaimana bisa mendapatkan rangking empat paralel? Apakah ia diam-diam memutuskan untuk melawan Ivory? Mengalahkannya? Ia serius ingin menjadi yang terbaik dan membuat Ivory terus-terusan dibandingkan dengannya? Tidak cukupkah ia hanya menjadi artis saja?

Lalu, Mint si perusak hubungannya dengan Silver ....

"Semester ini anak IPS dapet rangking paralel lebih banyak dari anak IPA. Kayaknya, semester depan bisa nih kita geser anak IPA yang paling sok pinter."

Alis Ivory berkerut mendengar celetukan salah satu siswa IPS yang berdiri di dekatnya. Tak terima jurusannya dihina, Ivory menyahut sedatar mungkin, entah menutupi gugup atau rasa marah. "Tapi, dua rangking paralel teratas semester ini, masih anak IPA. Dan kita emang pinter, bukan sok pinter. Karena, pada akhirnya kuantitas tetap kalah dengan kualitas."

Tidak ingin lagi mendengar tanggapan lain yang bisa mengacaukan fokusnya nanti, Ivory segera berbalik. Berniat segera pergi. Namun urung begitu Ivory melihat Fuchsia dan Mint bersama teman-teman anggota cheerleaders lain, sedang berjalan ke arahnya.

"Ya, kalo dasarnya udah pinter terus rangking satu sih nggak akan heran. Tapi kalo kayak gue yang belajar aja ogah-ogahan terus rangking lima, itu baru hebat. Biasanya yang pinter langsung merasa tersaingi sama orang kayak gue."

Ivory memutar bola mata. Ingin sekali ia tertawa karena perempuan itu dengan jelas mengakui bahwa Ivory memang pintar, dan pantas mendapatkan rangking pertama. Merasa tersaingi karena orang sepertinya?

Mimpi saja.

Ivory malas meladeni. Enggan merusak suasana hati. Cepat-cepat ia pergi. Meninggalkan papan mading. Menghiraukan semua orang.

Namun, baru beberapa langkah, Ivory kembali berhenti. Mint lagi-lagi menghalangi. Berdiri di hadapannya. Menatap dengan wajah angkuh. "Hari ini gue peringkat lima, tapi besok gue ada di posisi lo. Dan ketika itu terjadi, lo akan sadar kalo lo nggak ada apa-apanya." Mint tersenyum licik sembari memasukkan gumpalan kertas--yang Ivory tebak adalah daftar rangking yang disobeknya dari mading--ke dalam saku seragam Ivory.

"Sampah."

Ivory menggigit bibir kuat-kuat. Jantungnya sudah berdetak cepat. Napasnya sepenggal-sepenggal. Kalau Mint pikir dia baru saja berhasil merendahkannya, menekannya, perempuan itu salah besar. Sekarang Ivory justru bersemangat. Tidak sabar untuk menunjukkan seberapa jauh posisi Mint berada di bawahnya.

Setelah beberapa langkah, Ivory kembali terpaku. Bukan karena Mint atau pun Fuchsia. Kali ini, Silver yang berdiri di sana, dari jarak yang tak begitu jauh darinya.

Wajah Ivory yang menegang langsung lunak. Begitu pula dengan kedua bahu yang dibiarkan melorot tak bertenaga.

Dalam keadaan seperti ini, Ivory sungguh membenci tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Diam di tempat. Tak ada yang berusaha mendekat. Hanya manik mata mereka yang bisa bertemu dengan intim. Saling mengunci. Saling melepas rindu.

Cukup lama mereka saling tatap, hingga Silver mengulas senyum lebih dulu.

Lalu, di antara siswa-siswa yang berlalu lalang, di antara suara-suara bising yang sama sekali tidak bisa Ivory dengar, Ivory bisa melihat bibir Silver yang mulai bergerak. Mengatakan sesuatu tanpa suara.

"Congrats, By."

Air mata Ivory menitik seketika.    

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang