DELAPAN BELAS

5.2K 1.4K 189
                                    

Tubuh Ivory yang sudah terbiasa dengan jadwal makan, tidur dan semua hal secara teratur itu akhirnya melakukan protes secara terang-terangan dengan perubahan yang terjadi mendadak. Kelelahan, hampir dehidrasi dan juga terkena maag.

Papa dan mama yang panik, langsung melarikan Ivory ke rumah sakit malam itu juga. Bahkan, mama sempat meminta agar Ivory dirawat semalam dan juga melakukan pemeriksaan lanjutan. Namun, Ivory menolak. Perempuan itu meyakinkan orang tuanya bahwa ia hanya perlu obat dan beristirahat di rumah. Terus berjanji bahwa dia akan membaik segera.

Mama masih berisikeras Ivory harus dirawat, ingin menggunakan kuasa sebagai orang tua begitu pandangan mama bertemu dengan manik Ivory yang terlihat redup. Anaknya itu menggeleng pelan, seolah sedang memohon. Kemudian, mama teringat lagi bagaimana Ivory menangis sesegukan sambil memeluknya tadi siang.

Akhirnya, Ivory dibawa pulang kembali.

Sedangkan mama sepanjang malam terjaga, naik turun tangga, terus memeriksa keadaan Ivory, memastikan anaknya itu tidak kesakitan lagi.

***

"Ivory mau ke mana?"

Ivory yang baru saja turun dari kamar, hendak sarapan lebih dahulu sebelum pergi ke sekolah itu terhenti. Sempat menatap mama heran, menatap seragam sekolah yang melekat di tubuhnya, kembali menatap mama lagi, dan menjawab, "Mau ... sarapan. Terus ... sekolah."

"Ivory hari ini tetep di rumah, istirahat." Mama mengatakannya dengan tegas, sudah mengalihkan pandang dari Ivory yang masih berdiri di depan tangga.

Ivory tidak tahu mengapa mama terlihat sangat marah dan kesal padahal ini masih pagi. Menahan diri agar tak ikut-ikutan kesal dan merusak mood­, Ivory menjelaskan singkat, "Aku udah sehat."

"Ivory hari ini tetep di rumah." Mama mengulangi pernyataannya.

"Nanti aku ketinggalan pelajaran, Ma," jawab Ivory lagi setengah memohon.

"Ivory nggak akan ketinggalan pelajaran karena nggak masuk sekolah sehari."

"Tapi, Ma--"

"Mama harus marah dulu biar Ivory mau dengerin mama? Mau tambah sakit, terus malah nggak bisa sekolah berhari-hari? Ivory mau kayak gitu?"

Ivory tidak bisa mengatakan apa pun lagi. Matanya mulai berair. Ivory jelas tidak ingin absen sekolah berhari-hari. Namun, kemarin ia sama sekali tidak bisa menerima pelajaran dengan benar, tidak pergi les, dan juga tidak menyentuh buku pada malam hari. Jika hari ini dia tidak pergi sekolah, Ivory benar-benar khawatir akan semakin tertinggal.

Mama yang sedari tadi sibuk membantu asisten rumah tangganya menyiapkan sarapan itu menghentikan aktifitasnya sebentar. Menoleh pada Ivory yang masih diam di tempatnya berdiri. Keduanya saling mengunci pandang untuk beberapa saat, dan mama akhirnya mengatakan, "Ivory bisa belajar sendiri di rumah. Ivory nggak akan ketinggalan pelajaran. Ivory pinter. Ivory cepet belajar. Semalem mama udah nurutin kemauan Ivory. Sekarang, gantian Ivory yang turutin kemauan mama."

Perasaan Ivory tiba-tiba menjadi campur aduk. Haru, senang, khawatir, kesal, dan sedihnya itu melebur menjadi satu. Membentuk lengkungan samar di bibirnya.

Ivory jadi ... tidak bisa marah dengan mama. Namun, perempuan itu tetap berusaha. Ia menoleh pada papa yang sedari tadi duduk santai sambil menyesap kopi, dan terus melirik ke arah mama dan dirinya bergantian. Begitu pandangan Ivory bertemu dengan papa, sebisa mungkin ia mengirimkan sinyal bantuan. Masih berharap papa akan membelanya, atau mengatakan sesuatu yang bisa meluluhkan mama agar mengizinkannya sekolah. Namun, pria itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Seolah sedang meminta Ivory untuk mengerti mama.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang