Setelah mendapatkan ceramah panjang yang tidak sepenunya Ivory dengarkan, perempuan itu berakhir di ruang guru dan diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga puluh menit, selesai atau pun tidak.
"Enaknya jadi anak kesayangan guru, nggak ngerjain tugas malah dibolehin ngerjain langsung di meja gurunya. Tanpa pengurangan nilai dan tanpa hukuman apa-apa. Sekalian aja lo contek punya kita aja, Vo."
Ivory mengangkat kepala, menatap kesal salah satu teman sekelasnya-yang seingat Ivory mereka tidak pernah memiliki masalah apa pun--yang ditugaskan untuk membawa tumpukan tugas itu, dan kini sudah tertawa menghina.
"Padahal dulu lo pemalu, Vo. Sekarang malah jadi nggak tau malu."
Ivory yang sudah tidak tahan itu bangkit, hendak mendebat, atau melakukan apa pun agar perempuan yang kini melenggang pergi dengan santai itu diam dan menarik kata-katanya. Namun, urung ketika Tante Addie yang juga sedari tadi di sana, dan tahu apa yang terjadi itu mendekat. Menyentuh pundak Ivory dan memberikan kode suoaya Ivory menyelesaikan tugasnya segera.
"Selesain dulu, waktunya jalan terus."
Ivory kehilangan mood dan fokusnya. Jika saja tidak ada Tante Addie di sana untuk mengawasi, mungkin Ivory tidak bisa menyelesaikan tugas dengan benar dan tepat waktu. Dan juga, ia harus rela melewatkan sisa jam pelajaran di kelas dan istirahatnya yang lain di ruang BK.
***
Mungkin, karena mama sudah membiarkan Ivory mengambil tanggung jawab atas seluruh keputusan dan perbuatannya. Mungkin, karena papa selalu mendukungnya apa pun yang terjadi. Atau, mungkin juga karena Ivory sudah menemukan kepercayaan diri yang mampu membuatnya bersikap lebih santai dan nyaman tanpa perlu khawatir memikirkan bagaimana penilaian orang lain.
Dan seharusnya itu menjadi hal yang baik.
Setidaknya, bagi Ivory.
Jadi, perempuan itu sama sekali tidak mengerti, mengapa untuk bisa mengeksplorasi dirinya saja terasa salah, hingga ia harus duduk di sofa nyaman seperti orang pesakitan untuk mendapatkan sesi konseling.
"Hampir semua guru bilang kalau belakangan semangat belajar kamu mulai menurun. Memang bukan yang signifikan karena nilai-nilai kamu masih bagus. Untuk sekarang. Kamu tau, Bapak tau, guru-guru yang lain pun tau, ini bukan pertanda baik. Jadi, Bapak mau kamu cerita, apa aja kegiatan yang kamu lakukan di dalam dan luar sekolah, vorya Silvana Dewi."
***
Sesi konseling yang lebih mirip seperti sesi penghakiman, yang berakhir bersamaan dengan suara bel pulang itu justru semakin membuat Ivory merasa hilang, tersesat, dan hampa.
Sudah lama sejak terakhir kali Ivory membiarkan pikiran dan perasaannya itu saling merengkuh dan terus membuatnya memohon agar hari segera berlalu. Sudah lama sejak terakhir kali Ivory ingin sekali cepat pulang ke rumah, menenggelamkan diri dalam selimut di atas ranjang yang empuk, kemudian menangis hingga tertidur. Ivory tidak lagi sempat merasa depresi. Semua hal yang dilakukannya kini terasa menyenangkan. Seperti berpose di depan kamera, mengambil beberapa gambar dan mengunggahnya di sosial media, mendapatkan banyak tawaran kerja sama, bahkan ketika ia tertidur di depan laptop saat mencoba membuat sebuah ilustrasi dari tutorial yang baru saja ditontonnya.
Terasa menyenangkan meskipun Ivory harus menghabiskan energinya lebih banyak, meskipun ia melewatkan makan, atau pun jam tidurnya. Terasa menyenangkan karena pada akhirnya waktunya itu tidak habis hanya untuk belajar.
Ivory sedang menikmati kehidupnya sebagai seorang remaja. Sedikit bersantai. Tidak diburu waktu. Tidak dibatasi oleh daftar kegiatan yang biasa dibuatnya tiap hari. Tanpa tekanan belajar, nilai, dan juga mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Novela JuvenilKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...