"Papa yang anter atau Ivory nggak boleh pergi." Papa merentangkan tangannya pada pegangan tangga. Menghalangi jalan perempuan yang hari ini mengenakan topi putih, senada dengan sepatu kets, dan juga kemeja oversize--yang kancingnya ia biarkan terbuka.
"Tapi, Pa ...."
"Enggak ada tapi. Ini masih malem, Ivory." Malam yang papa maksud ada pagi buta. Pukul 5 pagi.
"Tapi—"
"Enggak ada tapi atau Ivory nggak papa izinin pergi." Papa sudah berkacak pinggang. Menunggu Ivory mengiakan ucapannya.
Beberapa jenak berlalu dan Ivory akhirnya mengangguk. Bergegas menuruni anak tangga saat papa kembali menghalangi langkahnya.
"Berangkatnya nggak sekarang. Masih malem. Jam setengah enam baru kita berangkat."
"Pa!"
Papa mengabaikan protes Ivory. Menepuk-nepuk pundak anak semata wayangnya itu beberapa kali sambil mengulas senyum. "Sarapan dulu, mama udah masak dari jam setengah lima tadi," lanjut papa sebelum berbalik, menuruni anak tangga menuju meja makan.
Ivory menghela napas. Memeriksa jam di ponsel, mengirim pesan pada Diko, dan meminta laki-laki itu untuk pergi lebih dulu. Setelahnya, Ivory menyusul papa. Bergabung bersama pria paruh baya yang kini sedang menyesap kopinya di meja makan.
"Ivory nanti setelah selesai langsung pulang. Jam 12 harus udah di rumah."
Tidak langsung mengiakan, Ivory menoleh pada mama yang sedang menuangkan susu dan sama sekali tidak menoleh ke arahnya, lalu beralih lagi pada papa. Apakah sekarang papa sedang menggantikan peran mama? Apakah ia akan dibatasi lagi seperti dulu?
"Ivory harus istirahat, biar malemnya bisa belajar, dan tidur cepet karena besok Senin. Jangan begadang terus setiap hari," lanjut papa lagi.
Sedangkan Ivory yang masih tidak mengatakan apa pun itu mengerjap beberpa kali, seolah sedang kesusahan mencerna ucapan papa, kemudian menyadari bahwa papa baru saja mengatakannya dengan nada tegas yang terlihat seperti orang kesal dan marah.
"Aku ... enggak apa-apa, Pa." Suara Ivory terdengar ragu-ragu. Mengalihkan pandangan dengan canggung. Mulai menyantap sarapannya yang terlalu pagi itu tanpa selera.
"Papa ditelpon Tante Addie, ditelepon sekolah, dan ditelepon tempat les kamu."
Seluruh bagian tubuh Ivory mendadak kehilangan fungsi selama beberapa detik. Tidak bergerak sama sekali. Hingga kemudian suara detak jantung yang kencang dan tidak beraturan itu menyadarkannya untuk bernapas.
"Dapet nilai jelek sekali-kali itu nggak apa-apa, Vo. Kita jatuh, terus bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi. Kita juga bisa ambil jeda untuk istirahat. Nggak apa-apa. Namanya juga hidup. Yang penting kita nggak nyerah karena kita terus berproses, terus belajar dari pengalaman-pengalaman itu untuk jadi lebih baik lagi.
"Ivory dapet nilai jelek, ya enggak apa-apa. Ivory masih bisa belajar lagi, dan dapet nilai bagus lagi diulangan atau kuis selanjutnya."
Jika saja papa tidak menjeda nasihatnya dan membuat Ivory mengangkat kepala, mungkin jari telunjuk perempuan itu sudah berdarah karena kuku-kukunya yang ia biarkan menancap di sana.
"Tapi, Tante Addie, guru kamu, tutor kamu, semuanya bilang sama ke papa. Nilai Ivory terus turun, Ivory udah nggak pernah fokus di kelas, dan Ivory juga sering bolos les."
Ivory menarik napas panjang, bersiap untuk mendengar lanjutannya. Namun, papa hanya mengatakan, "Ivory kenapa?"
Di tiap detik yang terasa merangkak dan nyaris tak bergerak itu, Ivory bungkam. Lidahnya kelu dan terasa pahit. Kepalanya kembali memutar ingatan ketika kertas hasil ujian hariannya itu dibagikan beberapa hari yang lalu. 94, 95, 92, dan 89 untuk masing-masing mata pelajaran matematika, fisika, biologi, dan kimia.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...