TIGA PULUH ENAM

6.7K 1.3K 229
                                    

Setelah memastikan tinta pada buku catatannya itu tergores sempurna, dan tidak ada satu pun coretan yang bisa membuat perempuan itu harus mengulangi pekerjaannya, Ivory menarik napas, membacanya dengan cepat sekali lagi sebelum akhirnya tersenyum puas.

Buku catatannya itu Ivory geser sedikit. Tangannya terulur untuk meraih ponsel yang disimpan di laci. Ada beberapa pesan dan notifikasi yang semuanya diabaikan. Ibu jarinya bergerak lincah di atas layar. Matanya memindai to do list yang harus diselesaikan. Mulutnya sibuk merapal daftar kegiatannya dari awal, mengingat-ingat, memastikan tidak ada satu pun yang ia lewatkan. Padahal, Ivory sudah melihatnya lebih dari sepuluh kali hari ini. Menghabiskan banyak waktu dengan percuma tanpa ia sadari.

Salin catatan, pindahin data rekaman ke laptop ....

Akhirnya, perempuan itu menyemangati diri sendiri. Masih banyak yang harus dilakukannya meskipun hari sudah larut malam. Jadi, sambil menunggu laptop menyala, Ivory mengambil alat perekam dari dalam tas, yang ternyata sudah mati kehabisan baterai. Benda kecil tersebut sepertinya Ivory biarkan terus menyala bahkan di jam istirahat.

Ivory menghela napas. Mengambil ponselnya lagi dan menambahkan catatan 'periksa baterai alat perekam' sebelum beranjak dan menghubungkan benda tersebut pada pengisi daya.

Ivory terdiam sejenak. Masih dengan posisi berdiri. Membiarkan pikirannya kosong sementara. Membiarkan suara detak jam di kamarnya yang sepi memenuhi pendengarannya.

Tik ... tok ... tik ... tok ... tik ... tok ....

Perasaan nyaman saat tidak memikirkan apa pun itu hanya berlangsung sebentar. Ivory mengerjap beberapa kali setelah tersadar. Pandangannya segera beralih pada kalender di atas nakas, di samping ranjang.

Waktu benar-benar berlalu cepat.

Padahal Ivory merasa baru saja kemarin membaca namanya pada papan pengumuman sebagai pemegang ranking satu pararel, dan tahu-tahu saja, minggu depan sekolah sudah memasuki ujian kenaikan kelas. Berarti, hanya sebentar lagi hingga Ivory mengulangi momen yang sama untuk waktu yang berbeda. Melihat namanya--lagi, pada urutan teratas saat pengumuman murid terbaik.

Semoga.

Tidak. Bukan semoga. Nilainya memang sempat turun, tetapi ia bisa mengembalikan semua dengan cepat. Jadi, Ivory hanya perlu bertahan dengan fokus yang sama hingga ujian selesai, percaya pada kemampuannya, dan mengganti kata 'semoga' menjadi 'pasti'.

Pasti.

Hingga kemudian, lamunannya itu terinterupsi oleh suara laptop yang baru menyala dan juga ponsel yang berdering.

Panggilan masuk.

Diko.

"Hey, lo belum tidur? Jangan begadang, Vo. Lo nggak lupa, kan, kalo besok abis pulang sekolah lo mau ketemu dengan Kak Rini ngomongin model untuk make-up terbarunya yang mau launching?"

***

"Oh, ya, gue juga inget. Dulu si anjing ini pede banget kan bilang mau rebut ranking Ivory."

Tiga murid laki-laki lainnya, termasuk Diko, yang berkumpul di sekitar meja guru tersebut menoleh bersamaan ke arah kursi kosong di barisan depan, tepat di hadapan papan tulis.

Kursi Ivory.

"Melunak dia karena jatuh cinta," timpal murid laki-laki di sebelahnya setelah meneguk minuman bersoda yang kini sudah berpindah tangan.

"Gue nggak jatuh cinta sama Ivory." Diko memberikan pembelaan dengan santai setelah tawa dan ejekan teman-temannya itu mereda.

"Ngomong nggak jatuh cinta tapi galeri penuh dengan foto Ivory."

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang