"Qil, kita harus jauhin Ivory dari Diko."
Aqil yang baru saja mendapatkan giliran untuk memesan nasi goreng setelah antrian panjang itu mengabaikan Silver. Setelah menyebutkan pesanan, laki-laki itu mengambil air mineral. Masih dengan posisi membelakangi, Aqil mengajukan pertanyaan retoris, "Menurut lo, kenapa lo sama Ivory bisa putus?"
Detik setelahnya, Aqil merasa pertanyaannya dapat menimbulkan salah paham jika terdengar murid lain, untuk itu ia segera melirik sekitar. Memastikan hanya Silver yang bisa mendengar suaranya barusan.
Sedangkan di belakangnya, Silver sama sekali tidak merespons, dan tepat setelah Aqil berhasil membuka tutup botol air mineralnya, laki-laki itu melanjutkan, "Karena apa yang lo lakuin sekarang." Aqil mengakhirinya dengan tegas. Bergegas menghampiri meja kosong yang baru saja ditinggalkan murid kelas sepuluh. Tidak lagi peduli apakah Silver masih membuntutinya atau tidak. Tidak lagi peduli apakah Silver mengerti ucapannya atau tidak.
Aqil sempat mengira kalimatnya menyakiti Silver dan membuat laki-laki itu pergi. Namun, Aqil justru mendapati Silver sedang menghampiri meja di mana teman-teman Ivory sedang makan, memberikan susu dan roti, yang dari jarak tempatnya duduk, Aqil bisa melihat Silver mengatakan, "Tolong kasih ke Ivory ya."
Saat itu juga, Aqil tersadar, ada perbedaan cukup jauh antara rasa yang dimilikinya untuk Ivory, dan perasaan Silver terhadap perempuan tersebut. Sebuah kenyataan yang membuat Aqil tertawa kecil. Merasa bodoh karena ia hanya bisa bertanya apa yang Ivory inginkan dan tidak melakukan apa pun, seperti yang Silver lakukan.
"Iya, gue juga udah tau," ujar Silver begitu duduk di hadapan Aqil, dengan penuh kepasrahan dan sorot mata redup. "Gue tau, gue mungkin cuma negative thinking. Gue juga udah tau, seharusnya gue udah nggak ikut campur lagi urusan Ivory karena gue bukan siapa-siapa. Tapi gue bener-bener nggak bisa biarin Diko deket-deket Ivory."
Pesanan makanan mereka datang menginterupsi.
"Kenapa?"
Silver terdiam sebentar. Antara sedang mencari alasan, atau sedang menimbang-nimbang apakah perlu mengatakan yang dipikirkannya. Namun pada akhirnya laki-laki itu hanya mengatakan, "Diko bisa bawa pengaruh buruk untuk Ivory."
"Contohnya?"
"Bisa aja Ivory—" Silver tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Coba deh liat dari sisi yang lain, gimana kalo Diko emang suka dengan Ivory dan punya cara sendiri untuk deketin cewek itu?"
Silver sungguh-sungguh merasa ada yang tidak beres. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada si pemenang english debate competition tingkat nasional di depannya itu.
"Jujur deh, apa yang sebenernya lo takutin? Lo takut Ivory ngelupain lo dan suka dengan Diko, atau lo emang bener-bener takut kalo Diko bakal ngapa-ngapain Ivory? Demi diri lo sendiri atau demi Ivory?"
Mungkin Aqil benar. Apa yang ditakutkannya, pikiran-pikiran buruk itu muncul bukan karena ia khawatir pada Ivory, tetapi karena dirinya sendiri.
"Lo tau, Qil. Gue ... mungkin bisa terima kalo cowok yang Ivory suka itu elo, bukan Diko."
Aqil hanya menatap Silver, tak ada ekspresi di wajahnya. "Sekarang lo fokus dulu untuk masuk univ. Tinggal beberapa hari lagi sebelum pengumuman SNMPTN. Nggak usah gengsi. Belajar lagi bareng kita. Kalo terburuknya lo nggak lulus, lo udah punya persiapan untuk SBMPTN."
***
Mudah bagi Ivory selama ini untuk mengatur waktu karena setiap hari baginya hanyalah aktifitas berulang dari kegiatan seputar rumah, sekolah, dan tempat les. Jika harus ada penyesuaian pun itu hanya sesekali jika tugasnya lebih banyak atau ada lomba yang harus ia ikuti. Dan Ivory tidak pernah merasa kesulitan untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...