Ivory memeriksa catatan, jam di ponsel, dan peralatan makan yang baru selesai dicuci, di rak samping wastafel secara bergantian. Tiga kali. Ia menggigit bibir, semakin gelisah ketika papa sudah memanggil di depan sana. Masih menimbang-nimbang, apakah ia langsung pergi sekolah saja, atau membiarkan asisten rumah tangganya menyusun piring dan gelas secara asal-asalan-di mata Ivory.
"Sebentar, Pa!"
Akhirnya Ivory berbalik. Berlari ke dapur, menuju rak piring, dan mulai menyusun ulang semua peralatan makan. Mulai dari memisahkan piring keramik dan kaca dalam sekat yang berbeda, meletakkannya dengan posisi condong ke depan, hingga membalik sendok, garpu, dan sumpit dalam satu arah yang sama.
"Vo, biar mama aja yang-"
Selesai.
Ivory menghiraukan mama. Menoleh ke arah ART-nya yang sedari tadi berdiri di sebelah dan hanya memperhatikan. "Mbak, kalo nyusun itu kayak gini. Biar nggak numpuk-numpuk kayak tadi. Rapi. Jadi ngambilnya lagi gampang."
Begitu wanita yang baru bekerja selama satu bulan di rumahnya-menggantikan sang ibu yang sakit-mengangguk, Ivory mengulas senyum. Berbalik. Pergi hanya sejauh tiga langkah sebelum kembali berhenti karena ucapan mama, "Vo, salam ya untuk Sya. Kalo dia nggak sibuk, suruh main ke rumah."
Seharusnya mama tinggal saja di rumah Fuchsia agar bisa melihat sepupunya itu tiap hari dan tidak perlu repot-repot menitipkan salam yang sudah jelas tidak akan pernah Ivory sampaikan.
***
"Udah nggak ada yang ketinggalan?"
Ivory yang baru selesai memasang sabuk pengaman itu langsung memeriksa catatan di ponsel dan isi tasnya sekali lagi. Semua buku yang harus dibawanya lengkap, begitu juga dengan susu kotak yang selalu papa masukkan diam-diam di tasnya. Terkadang, Ivory selalu penasaran, kapan papa melakukannya.
"Nggak ada yang ketinggalan, Pa."
"Okey, kita berangkat." Papa mengatakan dengan semangat dan perempuan yang mengenakan bando putih itu tertawa.
"Enak, Vo?" Papa bertanya begitu melihat Ivory meminum susu rasa coklat yang baru saja dikeluarkan dari tasnya.
Ivory mengangguk.
"Papa dapet proyek di luar kota lagi, Vo. Sekitar dua minggu. Nanti siang berangkat. Kamu baik-baik di rumah, jangan berantem dengan mama. Oke?"
Ivory tidak menjawab, memilih memandang jalanan ke luar jendela. Tanpa diingatkan pun Ivory tidak pernah bertengkar dengan mama. Kecuali, jika mama terus-terusan menyebut Fuchsia dan selalu Ivory abaikan termasuk dalam kategori bertengkar, artinya mereka selalu bertengkar. Bahkan ketika papa di rumah.
Menyadari perubahan mood dan suasana di dalam mobil secara tiba-tiba, papa buru-buru mengalihkan pembicaraan, "Nanti setelah lulus, Ivory mau ke mana?"
"Mau ke mana?" Ivory mengulangi pertanyaan papa. Seakan pengertian mau ke mana memiliki banyak makna yang tidak bisa diterjemahkan langsung oleh kepalanya.
"Iya, setelah lulus Ivory mau masuk kampus mana? Jurusan apa?"
Itu hanya pertanyaan sederhana. Sama sederhananya dengan pertanyaan papa semalam. Ivory sukanya apa? Namun, lagi-lagi Ivory terdiam. Tidak bisa menjawab. Tidak ada jawaban. Selama ini Ivory hanya sibuk belajar. Berusaha mempertahankan nilai agar ia bisa menunjukkan bahwa Mint tidak akan bisa mencapai tempatnya, dan membuat mama berhenti membicarakan Fuchsia. Sepenuhnya lupa kalau masih ada jalan panjang setelah ia lulus SMA.
Kampus mana? Jurusan apa?
"Belum tahu, ya? Atau, Ivory mau jadi apa nanti?"
Pertanyaan susah lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...