SEBELAS

6.6K 1.5K 80
                                    

Foto pertama Ivorya Silvana Dewi
Yashica Electro 35 Gtn
Fuji Superia Xtra400
Gimnasium

Ivory membaca tulisan tangan Diko, di balik foto yang diberikannya tadi di sekolah. Tulisan yang baru Ivory sadari keberadaannya saat benda tersebut tidak sengaja jatuh dari dalam tas, ketika ia sedang mengeluarkan buku.

Foto pertama Ivory....

Ivory pernah memotret, tentu saja. Dengan menggunakan kamera digital dan ponsel. Jadi, itu bukan foto pertamanya.

Yashica Electro 35 Gtn. Fuji Superia Xtra400.

Baiklah, itu memang foto pertama Ivory menggunakan kamera film. Jadi, dia tidak akan mengoreksinya.

Foto itu dibaliknya lagi, ditatap lamat-lamat. Potret yang tidak jelas. Benar-benar jelek. Tidak tertolong. Seperti lukisan yang catnya belum mengering kemudian jatuh karena tertiup angin, diinjak-injak pula—mungkin tidak separah itu juga.

Foto ginian aja gue nggak punya bakat. Ivory mengeluh dalam hati. Kemudian menjadi bingung, harus diapakan atau diletakkan di mana gambar tersebut.

Kamarnya bersih dari segala jenis pajangan dinding. Foto dirinya dan Silver yang pernah dibuang dan dipungutnya kembali itu saja ditempel di papan tulis. Hadiah dari Fuchsia pun hanya Ivory sandarkan dengan posisi terbalik di dekat kaki meja belajar agar ia tidak terlalu menyalahkan diri sendiri. Jadi, mengabaikan siapa yang berada di foto tersebut—karena tidak jelas juga, di mana harus ia letakkan karya pertamanya dengan kamera analog itu?

Menjelajah pandangan Ivory ke seluruh kamar. Menimbang-nimbang sebelum akhirnya beranjak, menuju papan tulis. Menempelkannya tepat di bawah foto dirinya dan Silver.

Tiba-tiba ia teringat ucapan teman-temannya tadi. Pasti akan sangat lucu jika apa yang Janeta khayalkan itu benar-benar terjadi. Namun, menjadi lebih lucu lagi, jika Ivory yang sudah diberitahu kemungkinan-kemungkinan mengapa Diko tiba-tiba mendekatinya itu, justru tetap terjebak nanti.

***

Begitu guru bahasa inggris mereka menghilang di balik pintu kelas, Diko segera membereskan mejanya dengan cepat. Memasukkannya ke dalam laci dengan asal, sambil melirik ke arah Ivory yang duduk jauh di deretan kursi paling depan sesekali. Memastikan perempuan itu belum pergi ke kantin bersama teman-temannya.

Setelah mejanya bersih, laki-laki yang duduk di deretan kursi paling belakang, di meja paling ujung sebelah kiri itu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal dari tas. Amplop berisi tumpukan foto yang mulai disusunnya di atas meja dengan terburu.

Belum selesai ia menyusun, Ivory di depan sana sudah lebih dulu beranjak. Ketika Diko hendak memanggil untuk menghentikannya, seseorang yang baru saja muncul di depan pintu kelas sudah lebih dulu melakukannya.

"Ivory, disuruh Bu Addie ke kantor sekarang."

Bahu Diko yang tadinya tegap karena terlalu bersemangat, terjatuh begitu saja. Ia berdecak kesal. Kembali mengumpulkan foto-foto yang tadi sudah disusunnya, ke dalam amplop. Merasa konyol entah untuk apa.

"Diko ... Diko ... lo serius mau buat Ivory masuk klub fotografi dan buat dia ... terus lo bisa ...." Ucapan teman sebangkunya itu agak dipanjang-panjangkan, diputus-putus sambil melirik Diko dengan tatapan main-main.

Sedangkan yang ditatap tersenyum tipis, dan hanya mengedikkan bahu.

"Taruhan sama gue, Ivory nggak bakal mau masuk klub lo, karena isinya lanang semua."

Diko yang hendak pergi ke kantin itu berhenti. Menoleh. Terdiam beberapa saat seolah baru saja terpikir sesuatu, sebelum akhirnya memukul kepala teman sebangkunya itu sambil tertawa.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang