Paginya, Ivory yang baru turun dari kamar dan mama yang sedang menyiapkan sarapan bersama asisten rumah tanganya itu, sama-sama tersenyum canggung ketika mereka tidak sengaja bersitatap. Hanya sepersekian detik dan keduanya mengalihkan pandangan dengan cepat. Yang satu langsung menarik kursi di depan meja makan, dan satu lagi segera menuangkan susu ke dalam gelas.
"Ivo ada les hari ini?" Mama memulai percakapan setelah meletakkan piring berisi scrambled egg, sayur dan jamur sebagai sarapan mereka itu ke hadapan Ivory. Bertanya dengan intonasi rendah.
Anak perempuan satu-satunya yang selalu terbiasa dengan suara menyebalkan mama itu agak terkejut, mengangguk kemudian, masih dengan senyum canggungnya.
"Nanti ... mama yang jemput, sekalian kita jemput papa, terus makan bareng."
Ivory mengangguk lagi. Mama tersenyum. Hening. Keduanya terdiam, cukup lama. Sibuk dengan sarapan masing-masing.
Di antara keheningan itu, mama diam-diam mencuri pandang pada Ivory. Memastikan ekspresi anaknya itu tidak berubah. Memastikan bahwa mood-nya masih terjaga. Sambil mencari-cari bahan obrolan lain tanpa menyinggung Fuchsia sama sekali.
"Ivo kalo les, makannya beli di mana?" lanjut mama akhirnya.
"Mampir di jalan pas pulang sekolah."
"Enggak pesen gofood aja pas udah di tempat les?"
Ivory menggeleng. "Kelamaan nunggunya. Keburu masuk."
Mama mengangguk-angguk. Tidak lagi melanjutkan sarapan dan menatap Ivory sepenuhnya--tidak lagi mencuri pandang. Ternyata, memang cukup sulit membuat obrolan dengan anaknya itu. Diingat-ingat pun, hingga Ivory sudah sebesar sekarang, tidak ada satu pun waktu di mana keduanya pernah berbicara panjang dan nyaman.
Tidak pernah.
Sekali pun.
Sadar sedari tadi diperhatikan, Ivory mengangkat kepala, mendapati mama yang agak tersentak seolah baru saja ketahuan sedang mengusap air mata. Mama tersenyum detik setelahnya, seakan ingin memberitahu Ivory bahwa apa yang dilihatnya barusan tidak seperti yang dipikirkan.
Keduanya terdiam lagi. Dan Ivory memilih melanjutkan sarapan yang sudah hampir tandas.
Beberapa saat kemudian, mama berdeham sekali setelah meneguk air putih. "Kalo mama bawain bekal tiap Ivo les, gimana? Biar nggak ngabisin banyak waktu karena harus mampir. Nanti mama titip Pak Amin waktu jemput di sekolah."
Ivory tidak langsung menjawab. Sempat menatap mama tak yakin karena mama juga terdengar ragu. Antara tidak percaya dengan kesungguhan tawaran mama. Atau justru heran apakah mama di depannya adalah benar mamanya. Karena selama ini, mama hanya melakukan segalanya tanpa pernah repot-repot meminta persetujuan. Karena selama ini, mama tidak pernah peduli.
Jadi, Ivory masih tidak menjawab ketika mama melanjutkan, sedikit kecewa, "Nggak apa-apa kalo Ivo nggak mau. Mama ngerti."
Sekarang, Ivory justru merasa bersalah karena berpikiran buruk tentang mama tadi. Karena membuat wanita itu ... kecewa. Cepat-cepat ia menambahkan sebelum mama menarik tawarannya, "Kalo mama nggak repot ... nggak apa-apa."
Mama tersenyum lebar, raut kecewa yang tadi sempat singgah sudah menghilang sepenuhnya. "Kalo Ivory pengen makan apa, kasih tau aja.
Ivory menatap mama, memperhatikan ekspresi wajahnya lamat-lamat.
Selama ini, Ivory merasa baik-baik saja dengan sikap mama yang menyebalkan. Ivory baik-baik saja tidak dipedulikan asal mama tidak mengganggunya seperti dulu. Namun, tubuhnya justru merespons lain. Gelenyar yang terasa samar-samar sejak pertanyaan pertama mama tadi, kini makin terasa nyata. Merambat memenuhi rongga dada dan menyebar ke seluruh tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...