Ivory sudah hafal di dalam atau pun di luar kepala. Pagi siang malam bahkan mungkin dalam tidurnya. Namun, ia tetap mengulangi kegiatan yang sama seperti program yang sengaja ditanam di otak. Setiap hari dalam rentang waktu tertentu bagai alarm. Contohnya seperti sekarang, ketika bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu: membuka ponsel, memeriksa list to do.
-Periksa rekaman
-Foto catatan
-Periksa laci dan tas sekali lagi
-Pergi les
Oke. Periksa rekaman.
Ivory mengintip kolong meja. Memeriksa alat perekam yang selalu diletakkan di sudut laci sebelah kiri setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Setelah memastikan benda kecil berwarna hitam tersebut berada di sana, tangannya yang tidak begitu panjang terulur, meraihnya. Menekan tombol play, dan suara guru yang mengucapkan salam begitu masuk kelas bisa terdengar jelas.
Oke. Sekarang--
"Ini, Vo ...." Nina, teman sebangku Ivory itu menginterupsi pikirannya sambil menyodorkan buku catatan Biologi yang terbuka.
"Oh iya. Makasih, Nin." Ivory semringah. Buru-buru memotret catatan temannya, lalu memotret papan tulis yang belum dihapus.
"Vo, mau ikut kita jalan nggak?"
Periksa laci dan tas sekali lagi.
"Nggak bisa. Gue ada les hari ini." Ivory menyahut sambil memeriksa laci meja dan tasnya sekali lagi. Memastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.
"Lo nggak capek apa Vo belajar terus? Sekali-kali ikut kita jalan. Lo nggak belajar sekali juga semester depan pasti tetap dapet rangking 1 paralel."
Ivory yang baru saja menutup risleting ranselnya sempat terdiam sejenak. Rasanya seperti tertampar--meskipun maksud temannya tidak seperti itu. Namun, Ivory tetap tenang dan melanjutkan, "Sepupu gue yang sibuk itu, semester ini aja bisa dapet rangking 4 paralel. Apalagi kalo dia serius. Mungkin dia bener-bener dapet rangking 1 semester depan nanti. Ngalahin gue."
Oke. Selesai. Nggak ada yang ketinggalan. Rekaman, catatan, semua buku udah masuk. Sekarang tinggal berangkat les.
"Tapi, Vo. Lo curiga nggak sih dengan Fuchsia? Kayaknya nggak mungkin dia bisa langsung naek ke lima besar gitu aja. Mungkin nggak sih karena nyokapnya guru?"
"Bu Addie? Tante gue?"
Nina mengangguk semangat, hendak mengorek informasi lebih jauh. Berusaha memancing Ivory untuk menumpahkan sesuatu yang mungkin tidak pernah didengar oleh siapa pun mengingat hubungan keduanya yang ... tidak baik.
Sebenarnya, Ivory berharap ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan Fuchsia. Semua akan lebih mudah baginya. Ia bisa berpikiran buruk sesuka hati seperti Nina atau pun murid lainnya karena mereka tidak saling kenal. Sayang, Fuchsia adalah sepupunya. Saudara terdekat yang sudah Ivory kenal sejak kecil. Dan Ivory tahu, Fuchsia atau pun Tante Addie, bukanlah orang seperti itu.
"Sya itu ... memang lebih pinter dari gue. Bahkan dia nggak perlu usaha. Makanya gue nggak suka sama dia."
Ivory memeriksa jam di ponselnya sekali lagi. Buru-buru pergi.
***
Ivory mulai gelisah. Memeluk buku pelajarannya yang tebal semakin erat. Ia memeriksa jam untuk yang kesekian. Mulai celingukan karena sudah lebih dari sepuluh menit berlalu tetapi jemputannya tak kunjung datang.
Kepalanya mulai membuat perhitungan sederhana. Perjalanan dari sekolah ke tempat lesnya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit jika tidak terjebak macet. Sedangkan waktu yang tersisa sebelum lesnya dimulai tinggal lima belas menit lagi. Jika jemputannya tidak juga datang hingga lima menit ke depan, Ivory sudah dipastikan terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...