DUA PULUH ENAM

5.1K 1.4K 70
                                    

Menurut Ivory, selain kaus hitam, Silver dan jersei futsal adalah salah satu kombinasi terbaik yang pernah dilihatnya. Kombinasi terbaik yang membuat perempuan itu sampai harus memalingkan wajah, memberikan kesempatan jantungnya untuk menenangkan diri. Pikirannya itu tidak berhenti merapal, mengingatkan hatinya untuk tidak menjadi lemah hanya karena suara yang ternyata ... ingin sekali didengarnya.

"Aku nggak pernah liat Aqil ketawa kayak tadi." Silver memulai obrolan setelah Ivory mengangguk untuk memperbolehkannya untuk duduk di sana. Mata yang biasa memiliki sorot tajam itu kali ini terlihat agak sendu.

Sedangkan Ivory hanya mengangguk samar, tidak yakin. Pasalnya, Ivory sering melihat Aqil tertawa seperti tadi. Meskipun sebelumnya, si peraih rangking satu paralel itu memang biasa terlihat dingin dan tidak ramah sama sekali.

"Kamu ... abis latihan olim?" tanya Silver mencoba melanjutkan obrolan.

Ivory mengangguk.

"Kenapa belum pulang?"

"Mau ngerjain tugas kelompok dulu."

"Kamu sendirian. Temen-temen sekelompok kamu ke mana?"

"Masih rapat." Tidak seperti Aqil, entah mengapa Ivory tidak bisa mengatakan dengan leluasa bahwa teman sekelompoknya adalah Diko. Seakan-akan ada bagian dirinya yang lain yang khawatir jika Silver akan kecewa nanti.

Beruntungnya, Silver tidak bertanya lebih lanjut, dan hanya mengangguk mengerti. Kemudian melanjutkan, "Aku denger, Mint udah minta maaf."

Ivory mengangguk lagi.

"Aku juga minta maaf ... untuk semuanya. Maaf juga nggak bisa minta maaf lebih cepet, karena aku pikir kamu butuh waktu."

Sekarang Ivory merasa sangat buruk. Perasaannya di dalam sana sudah berkecamuk. Perempuan itu bahkan tidak sanggup lagi untuk mengangkat kepala, takut jika tiba-tiba air matanya tumpah. Ivory tidak ingin Silver tahu bahwa selama ini ia hanya berpura-pura sudah baik-baik saja, meskipun Ivory juga sangat yakin selama ini ia sudah baik-baik saja. Ivory tidak ingin Silver tahu bahwa perasaannya masih sama, sesering apa pun laki-laki itu mengecewakannya.

Jadi, diam-diam Ivory berharap agar Silver tidak melanjutkan ucapannya. Agar Ivory tetap bisa terus membohongi perasaannya hingga ia terbiasa.

Dan entah Silver yang memang hari ini sangat peka, laki-laki itu benar-benar tidak melanjutkan. Hanya mengulas senyum, dan bangkit.

"Aku ... dan Mint juga udah baikan. Kita udah baik-baik aja sekarang."

Meskipun Ivory masih belum mau banyak bicara, setidaknya perempuan itu tidak kabur untuk menghindarinya, yang kemudian menjadi awal yang baik bagi Silver, untuknya agar bisa memulai lagi.

Maka, dengan perasaan baru, Silver kemudian pergi untuk memberikan Ivory ruang sendiri. Langkahnya benar-benar terasa ringan, tanpa sadar laki-laki itu mengulas senyum, kemudian menoleh ke belakang, menatap Ivory yang juga sedang melihatnya. Buru-buru Silver berbalik lagi, dan mendapati Diko dari arah berlawan sedang berjalan santai dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana, melewatinya begitu saja. Ada ransel dan tas kamera yang tersampir di pundak adik kelasnya itu. Dan entah mengapa, kaki Silver yang belum sampai di ujung koridor terhenti, begitu ia mendengar dengan jelas suara di belakangnya, "Lama, ya, Vo?"

Silver tidak bisa menahan penasarannya. Jadi ia berbalik sekali lagi untuk memastikan bahwa orang yang sedang Ivory tunggu memanglah Diko. Kemudian, melihat Diko yang sudah duduk di depan Ivory, dan meletakkan tas kameranya ke meja, pikiran Silver melayang. Ia teringat dengan adiknya, Mint, yang tiba-tiba menunjukkan foto Ivory dan Milo di perpustakaan tempo hari. Foto penyebab mereka putus. Juga, kalau diingat-ingat, penyebab pertengkarannya dengan Ivory terakhir kali juga masih karena foto.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang