TIGA PULUH DUA

5.4K 1.2K 67
                                    

Begitu selesai memasukkan buku dan semua yang dibutuhkannya ke dalam tas, Ivory mematut diri di depan cermin. Menyisir rambut dengan jari, merapikan dasi, dan memastikan lipatan baju dan rok seragamnya rapi. Senyum perempuan itu terulas kemudian, seolah sedang berbagi energi positif, seolah sedang meyakinkan diri sendiri bahwa ia bisa melalui hari ini sama seperti kemarin. Detik berikutnya, Ivory sudah mengambil beberapa gambar dengan kamera ponsel—masih di depan cermin, dan mungkin Ivory masih akan memotret dirinya sendiri lebih banyak jika papa tidak mengetuk pintu kamar dan masuk begitu saja.

"Papa tungguin Ivo dari tadi ..." ucapan papa menggantung ketika penglihatannya menemukan beberapa paket yang masih terbungkus itu tergeletak di sekitar ranjang Ivory. Benda-benda yang membuat kamar anaknya entah kenapa terlihat berantakan, dan itu sudah jelas sangat tidak seperti Ivory yang papa ingat terakhir kali.

"Papa kapan sampe?"

"Subuh tadi. Ivo ... belanja banyak banget."

Ivory mengikuti arah pandangan papa. Kemudian tertawa kecil, dan menjelaskan, "Bukan belanjaan Ivo, Pa. Barang endorse. Ada juga hadiah dari sponsorship. Tapi belum Ivory buka semua."

Papa sempat menatap Ivory penasaran dan heran yang entah mengapa terasa mengganjal. Meskipun istrinya sudah bercerita lebih dulu, tetap saja mengejutkan. Anak perempuan semata wayangnya, yang belum lama ini merasa tidak tahu apa yang dilakukan dan diinginkannya, menjalani hari seperti robot yang sudah ditanamkan sistem di dalam kepala, tidak terlalu percaya diri dan sulit untuk berkomunikasi itu kini menjadi ... sebagaimana seorang gadis seharusnya.

Papa tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya, tidak mengerti pula kenapa masih terasa mengganjal walaupun Ivory terlihat lebih ceria. Namun, pria itu akhirnya hanya mengangguk mengerti sambil tersenyum. Mengusap-usap kepala Ivory. Memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan kemudian tersadar waktu Ivory untuk sarapan sudah beberapa menit terlewat dan anaknya itu masih terlihat santai.

"Udah selesai, kan? Kita sarapan dulu terus papa anter."

"Ivo udah janji berangkat bareng temen hari ini."

"Siapa? Siver?"

Ivory menggeleng.

"Kak Aqil."

***

Menurut Aqil, Ivory memiliki daya tarik tersendiri ketika pertama kali mereka saling mengenal. Seperti ketika Ivory fokus belajar dan mengajarkan teman-temanya, atau saat ia sibuk menatap lantai dan sepatu karena terlalu canggung untuk memulai sebuah obrolan. Bahkan sikapnya yang terkadang rendah diri dan kebiasaan untuk melihat jam berulang kali, memastikan semuanya tepat waktu, memastikan semuanya rapi dan bersih, memastikan semuanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan itu, membuat Ivory memiliki daya tarik tersendiri.

Namun, bukan berarti Ivory yang menyempatkan diri memotret gumpalan awan di langit sebelum masuk ke mobil dan duduk di sampingnya, kemudian sibuk dengan layar ponsel dan jari-jari yang menari dengan semangat untuk mengunggahnya di sosial media itu menjadi tidak menarik lagi.

Ivory tetaplah menarik.

Semakin menarik karena kini ia terlihat lebih percaya diri dan ia mampu berbicara dengan lancar tanpa perlu merasa gugup atau berpikir lebih dulu. Bahkan, perempuan yang sudah bersenandung pelan mengikuti musik yang diputar di radio itu terlihat sangat bersinar.

Hanya saja, Aqil merasa ada yang hilang dan ia merindukannya.

Merindukannya.

Aqil mengulas senyum tanpa kentara. Merasa lucu padahal ia tidak pernah memiliki Ivory, baik Ivory yang dulu atau pun yang sekarang. Jadi mana mungkin ia merasa kehilangan dan sudah merindukannya apalagi perempuan itu jelas-jelas sedang duduk di sampingnya?

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang