DELAPAN

7.3K 1.7K 70
                                    

Ivory sempat menatap lama kamera yang Diko sodorkan. Bentuknya mirip seperti mirorless. Berwarna hitam dan sedikit kusam. Seakan benda tersebut sudah digunakan turun menurun selama beberapa generasi—yang sebenarnya tidak setua itu juga.

Setelah meneliti beberapa jenak, melirik ke arah Diko sekali lagi, akhirnya Ivory mengambil kamera tersebut yang ternyata cukup berat dari perkiraan. Sempat Ivory bolak-balik, sebelum ia berhenti dan menunjuk tombol shutter, "Pencet yang ini?"

Diko mengangguk. Senyumnya belum berkurang. Hendak menjelaskan cara pakai, ketika Ivory lebih dulu mengarahkan kamera ke arahnya, dan langsung menekan tombol yang tadi ditunjuk, tanpa ragu.

Klik

Ivory sedikit tersentak. Kamera yang menutupi wajahnya turun perlahan. Tatapannya terlihat polos dan tak berdosa, mengerjap beberapa kali ke arah laki-laki di depannya. Seakan Ivory tidak tahu menahu mengapa tiba-tiba muncul cahaya flash yang menyiram wajah Diko--yang juga lebih terkejut—barusan.

Padahal sebenarnya, Ivory berniat mengatur fokus dengan menekan tombol shutter hanya sampai setengah. Sepenuhnya lupa jika kamera tersebut bukanlah kamera digital dengan pengaturan autofocus.

Keduanya masih terdiam dan saling tatap. Membiarkan suara tim cheerleader dan teriakan fans tim futsal yang duduk di tribun seberang mereka mengisi kekosongan. Hingga kemudian, Ivory lebih dulu tertawa, diikuti oleh Diko setelahnya.

"Maaf-maaf. Ini ... makasih." Masih dengan sisa tawa, Ivory menyodorkan kamera yang sedari tadi masih dipegang. Raut wajahnya melunak, terlihat lebih bersahabat.

Diko yang sedari memperhatikan, melihat perubahan raut wajah terkecil itu, diam-diam mengulas senyum. Mengartikannya sebagai penerimaan. Ivory sudah mulai menerima kehadirannya di sana.

Agar Ivory tidak sadar bahwa sedari tadi diperhatikan, Diko tertawa, menyamarkannya. Menggeleng-geleng seolah tak habis pikir. Mengambil kameranya kembali. "Lo lucu juga ya, Vo."

Ivory yang tadi sudah menghadap lapangan, kembali menoleh dengan dahi berkerut. "Emangnya selama ini gue kayak mana?"

"Lo keliatan kaku."

"Kaku?"

"Kayak, lo cuma mau ngobrol dengan orang-orang tertentu dan lo biasanya cuma mau ketawa lepas kalo lagi sama temen-temen deket lo aja."

"Bukannya semua orang juga kayak gitu?" Ivory menatap Diko dengan lucu.

Diko tahu contoh yang diberikannya agak bodoh untuk menggambarkan sekaku apa Ivory di mata orang-orang, di matanya. Lalu, ia tersenyum miring. Melanjutkan, "Lo nggak pernah terlambat. Setiap pulang sekolah lo langsung pulang. Setiap ada tugas lo selalu udah ngerjain. Setiap ada kuis dadakan lo nggak pernah panik."

Mendadak, seluruh ekspresi di wajah perempuan itu lenyap. Ada satu pernyataan Diko barusan yang tiba-tiba mengganggu. "Lo tau dari mana setiap pulang sekolah gue langsung pulang?"

Diko mencoba tenang meskipun ia juga sedang berpikir keras mencari jawaban. Terlebih, Ivory kini menatap curiga. "Satu sekolah juga tau, lo tiap pulang sekolah langsung pulang, Vo. Makanya ngeliat lo di sini sekarang itu agak aneh." Diko mengatakannya sambil tertawa, seolah-olah yang dikatakannya barusan adalah kenyataan paling umum yang diketahui seluruh murid di sekolah. "Jadi, lo udah balilkan dengan Kak Silver?" lanjutnya lagi, segera mengalihkan pembicaraan.

Ivory sendiri tidak tahu apakah yang dikatakan Diko benar atau tidak. Namun, mengingat semua orang yang berpapasan dengannya tadi memandang dengan tatapan Loh-Ivory-kesambet-apa-pulang-sekolah-muncul-di-gedung-ekskul dan pertanyaan heran sejenis, Ivory memilih percaya dan tidak lagi bertanya.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang