Menjelang siang, Six in Sundays ramai pengunjung. Suasana kafe itu menjadi terlalu berisik sekarang. Baik Ivory dan Silver, keduanya sudah kehilangan fokus untuk melanjutkan belajar. Jadi, mereka memutuskan untuk mengakhiri kegiatan mereka, dan langsung memesan makan siang—sebelumnya mereka hanya memesan minuman dan camilan.
"Nanti di rumah coba kamu kerjain sendiri dulu latihan soalnya, Bu. Terus kamu pelajarin pembahasannya. Kalo emang masih ada yang nggak ngerti, besok jam istrirahat pertama, kita bahas. Pulang sekolah aku nggak bisa karena les."
"Siap, Bos."
Makan siang mereka datang.
"Kamu tadi berangkat sama Pak Amin, By?"
Ivory mengangguk. Mulai memasukkan sesendok makanannya ke dalam mulut.
"Abis ini aku anterin pulang, ya."
"Emm ... aku ... belum mau pulang."
Silver menatap Ivory yang menghindari matanya itu dengan penuh selidik. Kemudian menyadari, bahwa perempuan itu sama sekali tidak memegang ponsel sedari tadi, sejak pertama mereka bertemu hari ini. Padahal, benda pipih itu biasanya tidak pernah lepas dari genggamannya, yang selalu diperiksa secara berkala--dan sejujurnya, cukup melegakan karena sekarang Silver tahu, Ivory ternyata bisa terlepas dari ponsel berisi catatan to do list yang dibuatnya sendiri itu.
Pun kalau diingat-ingat, Ivory bukanlah orang yang suka membuat janji bertemu secara mendadak seperti tadi. Maka, menyadari ada yang tidak beres, Silver bertanya dengan hati-hati, "Kamu nggak apa-apa kan, By?"
Ivory sempat membeku, kemudian mengangkat kepala. Menjawab lemah, "Bu, jangan tanya aku dulu ya. Aku udah capek nangis hari ini."
Bodoh sekali Silver karena tidak sadar bahwa mata perempuan itu memang terlihat agak sembap."Kalo kamu udah siap cerita, aku siap dengerin kapan aja, By."
Ivory mengangguk, mengulum senyum simpul. "Thanks, Bu."
"Emm ... mau nonton aja nggak abis ini?"
Ivory mengangguk lagi. Melanjutkan makan. Ke mana saja, Ivory setuju. Ia hanya tidak ingin pulang ke rumah dengan segera hari ini.
***
Sudah tiga kali nomor yang tidak terdaftar di kontak Silver itu memanggil. Sebanyak itu pula panggilan tersebut sengaja Silver abaikan. Film yang sedang ditonton itu sedang seru-serunya. Hingga, sebuah pesan masuk, dan laki-laki itu langsung menegakkan punggung detik setelahnya. Pelan-pelan, ia menoleh ke samping, menatap Ivory yang masih tertidur. Lalu, buru-buru ia bangkit, keluar dari teater bioskop.
Saya mamanya Ivory. Tolong angkat telepon saya.
"Halo? Iya, Tante?"
"Ivory lagi sama kamu?" Suara di seberang sana terdengar sangat tidak sabaran, dengan nada sedikit tajam.
Tak ubahnya seperti seseorang penculik yang baru saja tertangkap, jantung Silver berdetak tidak keruan. Dahi dan tengkuknya berpeluh. Mampus gue.
"I-iya, Tante. Saya lagi sama Ivory. Lagi nonton di bioskop." Karena tidak sempat berpikir, Silver memilih menjawab jujur. Karena Ivory juga tidak menitipkan pesan apa pun, jika orang tuanya tiba-tiba mengubungi.
Silver memejam takut-takut. Seolah siap mendengar kemarahan mama Ivory setelahnya. Namun, sedetik kemudian, yang terdengar justru helaan napas lega dan dalam. Berulang kali.
"Sekarang Ivory di samping kamu?"
"Enggak, Tante. Saya di luar sekarang. Ivory ketiduran tadi saya liat. Tante mau ngomong sama Ivory? Biar saya bangunin."
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...