Ivory menjadi lebih sibuk ketika acara tahunan The Colors of Art Project dimulai. Ia masih harus belajar di kelas dan mengurangi dispensasi seminimal mungkin, datang les, menjalani pemotretan mingguan sebagai model salah satu butik ternama, dan melakukan hal-hal lain untuk mengalihkan pikiran yang terkadang membuat kepalanya terasa hampir pecah.
Hari itu, setelah pengumuman dan Ivory berada pada urutan pertama pada babak penyisihan cerdas cermat matematika, perempuan tersebut memilih pergi untuk mencari udara segar. Menghindari kerumuman, dan menghindari semua orang. Termasuk mengabaikan pesan Diko yang menanyakan keberadaannya dan juga meminta ia untuk melihat-lihat foto para peserta lomba fotografi bersama. Ivory butuh menyegarkan pikiran, memulihkan energinya kembali. Sendirian.
Dibiarkan kakinya itu melangkah entah ke mana. Hingga kemudian, tahu-tahu ia sudah sampai di belakang sekolah yang sepi. Ivory memeriksa jam di ponsel, masih ada waktu untuk beristirahat. Perempuan itu memutuskan untuk berjalan sebentar lagi saat tiba-tiba tubuhnya terasa kaku sepersekian detik sebelum akhirnya melangkah mundur, dan hampir tersandung jika saja Ivory tidak bisa mengendalikan ketakutan yang perlahan merayap melihat pemandangan di depannya: Mint dengan kaki dan tangan terikat sedang ditendangi oleh segerombolan murid lainnya!
Buru-buru Ivory menutup mulut agar tidak teriak, agar isi perutnya tidak keluar karena mendadak mual. Bahkan sekujur tubuh Ivory sudah gemetaran dan dipenuhi peluh. Kepalanya yang tiba-tiba terasa pening itu mulai dihadapkan pada pilihan, segera pergi dari sana dan pura-pura tidak tahu, atau menolong Mint dengan kemungkinan ia akan mengalami hal yang sama.
Jangan ikut campur Ivo, lo kalah jumlah!
Tapi, kalo Mint kenapa-kenapa gimana?
Ivory menekan-nekan ruas jarinya, mengumpulkan keberanian, melihat sekeliling dan berpikir cepat, akhirnya perempuan itu justru berteriak, "Kak Silver! Di sebelah sini!" Tentu saja tidak ada Silver di sana. Namun, berhasil membuat murid-murid yang mengelilingi Mint itu berhenti menyiksanya, dan kabur dari sana.
Detik setelahnya, Ivory jatuh terduduk. Air matanya mengalir begitu saja. Sambil menangis perempuan itu mengambil ponsel dari dalam saku. Menggulirkan layar terburu dengan tangan gemetaran. Dan tidak sampai tiga detik setelah teleponnya tersambung, satu-satunya orang yang terpikir olehnya saat ini langsung mengangkat panggilannya.
"Mint ... Mint ... Mint ... di belakang sekolah ... tolong ...."
Setelah panggilan telepon berakhir, Ivory menghampiri Mint dengan terseok-seok. Tangis perempuan itu semakin menjadi melihat wajah Mint yang dipenuhi luka lebam ... dan juga darah.
"Mint ...."
Ivory mulai meracau melihat mata Mint yang memejam. Segera ia memindahkan kepala Mint menuju pangkuannya, menepuk-nepuk pelan pipi perempuan tersebut sambil berteriak meminta tolong dengan suaranya yang parau.
Beruntung, Gempar—pacar Mint--dan juga teman-temannya itu segera datang. Belum sempat Gempar mengambil alih tubuh Mint dari pangkuan Ivory yang sudah hilang kesadaran, Silver datang lebih dulu, terpaku beberapa saat begitu melihat keadaan Mint. Sempat mengalihkan pandangan pada Ivory yang masih berlinang air mata seolah meminta jawaban. Merasa semua orang kini menatapnya, Ivory akhirnya mengatakan dengan susah payah di sela-sela isakan yang hampir keluar, "Mint ... ada yang pukulin Mint ... ada sepuluh orang ...."
Silver, Gempar, dan teman-teman Mint yang lain itu langsung mengambil alih. Sedangkan Ivory yang masih shock itu masih tidak mampu mengolah informasi dengan benar. Tubuhnya bergerak sendiri tanpa benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Karena, begitu sadar dirinya kini sudah mengikuti Silver yang sedang menggendong Mint di depan sana, Ivory justru menghentikan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...