EMPAT

9.5K 2K 101
                                    

"Kadang-kadang kita itu emang harus realistis, sih. Contohnya, kita nggak bisa maksa melakukan sesuatu diluar batas kemampuan kita. Nggak punya duit, tapi sok kaya. Nggak bisa ngerjain soal matematika, tapi mau jadi mentri keuangan."

Ivory terbatuk, segera kembali ke posisi semula karena sempat berpikir kalimat barusan keluar dari mulutnya-yang entah patut disyukuri atau tidak, ternyata bukan.

Teman semeja yang lain, Janeta, yang tepat duduk di depan Ivory itu menyahut sambil melirik pada murid-murid yang duduk tepat di belakangnya, "Tahu diri itu emang hal yang harus dimiliki setiap umat manusia, Sayang."

Tawa di meja berisi enam murid perempuan dari kelas 11 IPA 1 itu pecah. Mereka mulai berlomba memberikan contoh jenis-jenis tahu diri-yang Ivory tahu itu adalah sindiran untuk meja berisi murid jurusan IPS yang tadi sedang asyik berbicara tentang cita-cita mereka.

Ivory meringis, tertawa kecil, mengangguk-angguk. Mendorong pelan piring di depannya yang sudah kosong. Membalik sendok dan garpu di atasnya, menyusunnya berdampingan.

"Kalo sekelas Ivory yang ngomong gitu masih percaya sih gue. Ya nggak, Vo?"

Ivory memeriksa jam di ponsel, sebelum akhirnya mengangkat kepala, mengulas senyum. Berkata dengan takzim, "Kita masih pelajar. Tugas kita yang paling penting sekarang itu belajar. Masih terlalu jauh, kan, kalo mikirin mau jadi presiden entar?"

Hanya Ivory dan Tuhan yang tahu bahwa kalimat barusan adalah hiburan untuk dirinya yang masih tidak tahu ingin menjadi apa kelak. Teman-temannya itu tertawa lagi. Bangkit. Hendak kembali ke kelas. Begitu anak-anak IPS dari meja yang sedari tadi mereka bicarakan juga ikutan bangkit. Berdiri menghalangi.

"Apa maksud kalian bilang kayak tadi?"

"Memangnya, tadi kita bilang apa?" Janeta maju selangkah.

"Lo nyindir kita, kan, dari tadi?"

"Memang kalian sepenting itu untuk jadi bahan sindiran kita? Kalo lo tersindir, sori deh."

Perempuan yang rambutnya lurus dan kaku seperti lidi, yang maju paling depan di antara teman-teman semejanya untuk menuntut penjelasan itu, menganga tidak percaya. "Oh, ngerasa paling pinter lo? Ngerasa sehebat itu?"

"Yah, nggak paling pinter sih karena di sini ada Ivory. Tapi, gue emang lebih pinter daripada lo. Dari temen-temen satu jurusan lo."

"Lo-"

"Ta, kita harus ke kelas sekarang kalo nggak mau telat." Ivory menyela. Menarik tangan Janeta agar adu argumen itu tidak semakin melebar. Kemudian diikuti Nina yang sudah menggamit lengannya yang lain. Bersiap pergi begitu seseorang yang entah dari mana tiba-tiba muncul dan melepaskan pegangan tangan Ivory.

"Jangan lari dong, murid paling pinter."

Ivory seharusnya menghentikan teman-temannya lebih cepat sebelum si perusak hubungan ini muncul dan menyiram minyak di api yang berusaha ia padamkan.

"Sementang anak jurusan IPA, kalian bebas ngehina anak jurusan IPS? Ngerasa paling pinter dari kita? Kalian lupa, lima besar paralel semester ini anak jurusan IPS lebih banyak dari anak IPA?" Mint menyerocos panjang dengan suara lantang.

Murid yang duduk di sekitar mereka dan sedari tadi mendengarkan itu satu per satu mulai memusatkan atensi. Beberapa ikutan bangkit. Beberapa sudah mendekat agar bisa melihat dan mendengar lebih jelas. Beberapa memilih netral. Beberapa sudah mengambil garis di mana mereka berpihak.

Ivory atau Mint.

IPA atau IPS.

Teman-teman Ivory yang lain langsung meledak tidak terima. Sedangkan Mint menatap Ivory dengan angkuh, sambil menyeringai dengan tangan tersilang di perut. Seakan ingin memberi tahu Ivory yang masih diam, bahwa ia sudah menang.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang