SEMBILAN

6.6K 1.6K 110
                                    

Malam itu, kekesalan Ivory terhadap papa, mama, hadiah dari Fuchsia dan dirinya sendiri, dilampiaskan dengan duduk berjam-jam di depan laptop, Ipad, dan juga tumpukkan buku. Membuat ringkasan materi untuk Silver. Mengerjakan banyak latihan soal. Belajar hingga larut malam. Mengabaikan perutnya yang beberapa kali berbunyi minta diisi. Hingga melewatkan jam tidurnya yang biasa.

Tubuh Ivory yang terkejut karena sudah terbiasa dengan jadwal teratur itu, memberikan sinyal protes. Kepalanya berdenyut begitu terbangun. Seluruh sendinya nyeri. Perutnya mual. Sesaat perempuan itu memejam untuk meredam sakit di kepala. Kemudian, segera ia meraih ponsel. Memeriksa catatan di sana. Membacanya berulang-ulang. Makan malam (tidak), belajar, sikat gigi (tidak), cuci muka (tidak), cuci kaki (tidak juga), tidur (tertidur). Lalu memperhatian kamarnya yang masih berantakan dengan buku yang berserakan ... kepalanya berdenyut lagi.

Ivory memejam. Menghela napas kesekian. Memeriksa jam di ponsel dan ia membujuk tubuhnya yang sama sekali tak bertenaga itu untuk bertahan sekali lagi. Berjanji, setelah kamarnya kembali rapi dan ia sudah selesai membersihkan diri, perempuan itu akan beristirahat kembali. Dan juga makan tentu saja.

Dengan cekatan, Ivory mulai mengumpulkan buku dan peralatan lain yang berserakan. Disusun di tempatnya. Bersiap untuk mandi begitu terdengar suara ketukan di pintu kamar.

"Ivory ... ayuk sarapan bareng dulu. Papa udah mau berangkat sebentar lagi."

Ivory yang hendak berteriak untuk menjawab panggilan papa tanpa perlu mendatanginya itu mengurungkan niat karena kepalanya kembali berdenyut. Sambil mencoba menahan sakit, mengurut pelan pelipisnya, Ivory menghela napas dalam. Memejam beberapa jenak hingga sakitnya berkurang. Kemudian, menghampiri papa yang masih berdiri di balik pintu.

"Papa sama mama makan duluan aja, nggak usah nungguin Ivo. Ivo mau mandi."

"Eh? Anak papa ada kemajuan jam segini belum mandi." Jam segini yang dimaksud papa adalah jam tujuh di hari Minggu.

Sedangkan Ivory yang sedang tidak dalam kondisi baik untuk menjawab gurauan papa itu hanya menghela napas. Masih ada sisa kesal kemarin yang sedikit tertinggal. Menjawab dingin, "Papa makan duluan aja. Nanti ketinggalan pesawat."

Tanpa menutup pintu, Ivory berbalik. Meninggalkan papa yang merasakan nada getir dari kalimat Ivory barusan. Buru-buru menjawab, "Papa tungguin."

Ivory tidak berharap ditunggu. Tidak ingin pula ditunggu. Pikirnya pun, papa pasti tetap akan pergi karena tidak ingin tertinggal pesawat. Namun, begitu Ivory selesai membersihkan diri, papa masih ada di sana—padahal Ivory sengaja mandi lama untuk meredakan sakit kepala. Duduk di ranjang sambil memegang hadiah dari Fuchsia yang ia letakkan di dekat kaki meja belajar.

Jika papa mengatakan sesuatu tentang pajangan itu, Ivory akan puasa hari ini.

"Ivo masih mau dandan dulu?"

Untung papa tidak mengatakannya.

Dan pada akhirnya, mempertahankan kekesalan terhadap papa tidak berhasil. Ivory menyerah. Ia lapar. Jadi, perempuan itu menggeleng, dan papa langsung beranjak. Meletakkan kembali pajangan yang tadi di pegangnya ke tempat semula. Merangkul Ivory, dan menggiring anak perempuannya itu menuju meja makan.

Omurice buatan juru masak di rumahnya itu baru saja di hidangkan di atas meja begitu Ivory menarik kursi. Aroma gurih dari telur dadar setengah matang yang membungkus permukaan nasi goreng di bawahnya itu memenuhi penciuman Ivory. Seketika perempuan itu menjadi semangat. Suapan besar sudah masuk ke dalam mulutnya.

"Enak, Vo? Makannya pelan-pelan." Papa mengingatkan, mengulum senyum.

Ivory bahkan lupa untuk meminum air putih terlebih dahulu sebelum makan, kebiasaannya.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang