DUA PULUH DELAPAN

4.8K 1.2K 69
                                    

Nasihat yang sedikit kejam dari Diko itu bekerja dengan baik. Sangat baik malah. Awalnya, Ivory memang sedikit tersinggung. Kemudian, perempuan itu justru bisa menerapkannya tanpa kesulitan. Photoshoot berjalan lancar setelahnya. Meskipun Ivory tidak langsung seluwes model profesional, tetapi perempuan itu mampu menerima arahan Diko, berdiri tegak di depan kamera tanpa peluh membanjir atau pun dengan jantung yang terasa seperti akan meledak.

Rongga dada Ivory terasa penuh dengan perasaan menyenangkan, hangat, puas dan juga lega. Sesi photoshoot-nya telah berakhir. Dela dan Haris tidak berhenti memujinya. Sedangkan Diko, mengangguk seolah bangga. Menunjukkan jempolnya yang teracung di udara.

"Thanks ya, Vo." Dela memeluk erat Ivory yang baru selesai berganti pakaian.

"Maaf ya, Kak, kalo jelek."

"Lo ngomong gitu sekali lagi gue remukin nih badan lo. Cantik gitu, kok. Hasil fotonya juga bagus."

Ivory tertawa pelan, mengangguk, dan membalas pelukkan kakak kelasnya itu.

"Abis ini kita makan bareng dulu ya, terus kita anterin pulang," lanjut Dela lagi dengan semangat setelah ia melepaskan dekapannya.

Ivory memeriksa ponsel, menggeleng sambil tersenyum sopan, menjawab, "Saya udah dijemput, Kak."

"Loh? Kok udah dijemput? Nanti dong pulangnya. Nanti kita anterin kok. Kita makan dulu. Ya?" Dela membujuk.

"Mau ngerjain tugas, Kak. Belum belajar juga untuk besok."

Dela mencebik. Tidak bisa membalas lagi karena Ivory sudah menyinggung soal belajar yang tentu saja sangat penting untuk adik kelasnya itu.

"Beneran nggak bisa sama sekali, Vo?"

Raut Ivory terlihat menyesal, menggeleng sekali lagi.

"Oke, kita bolehin lo pulang kalo lo mau terima ini."

Alis Ivory terangkat melihat dua buah paper bag besar dengan tulisan Colorstrology—merek pakaian milik Dela dan Haris, di mana Ivory menjadi modelnya hari ini—itu sudah berpindah ke genggamannya dengan cepat.

"Oleh-oleh. Nggak boleh ditolak. Lo pantes dapet reward, Vo."

Setelah diam beberapa jenak, akhirnya Ivory mengulas senyum. Mengangguk-angguk. Segera pamit untuk pulang lebih dulu karena sopirnya sudah menunggu, dan matanya itu sempat mencari-cari keberadaan Diko begitu laki-laki itu tiba-tiba muncul di sebelahnya.

"Gue anterin ke depan."

Ivory mengangguk. Pamit sekali lagi pada Dela dan Haris, berjalan bersisian bersama Diko.

"Thanks, sekali lagi," ujar Ivory begitu mereka menuruni tangga menuju lantai dasar.

"Jangan bilang makaasih dengan gue. Lo harusnya berterima kasih dengan diri lo sendiri karena udah berani coba hal baru, dan berhasil lawan rasa takut itu."

Ivory membiarkan kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman. Diko benar. Dirinya itu, yang selama ini menggantungkan diri pada ekspetasi orang lain dan terikat pada pikiran-pikiran yang wujudnya saja tidak pernah ada, memang sudah seharusnya mendapatkan apresiasi. Mungkin, melebihi ketika ia mendapatkan peringkat satu di sekolah.

"Lo punya potensi, Vo." Karena Ivory diam dan hanya menatapnya seolah-olah kalimat barusan adalah bualan, Diko melanjutkan, "Gue serius."

Akhirnya Ivory hanya tertawa pelan, "Gue ... masih belum tau, Ko. Tapi gue seneng hari ini. Meskipun masih ada rasa yang ganjel, seharusnya tadi senyum gue bisa lebih natural, dan pose gue—"

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang