DUA PULUH EMPAT

5.2K 1.4K 152
                                    

Begitu menemukan susu kotak di dalam tasnya, Ivory mengulum senyum. Melirik pada papa yang sedang bersenandung pelan di balik kemudi. Sambil mengeluarkan susu kotak tersebut, dan memindahkan tasnya ke pangkuan, Ivory akhirnya menanyakan apa yang selama ini membuatnya penasaran.

"Papa kok bisa masukin susu ke tas Ivory, tapi Ivory nggak pernah liat kapan papa masukinnya?

"Yang di tangan kamu?" Papa justru balik bertanya.

Ivory mengangguk cepat.

Papa sempat menatap Ivory heran. "Sampe sekarang Ivo nggak tau kalo yang biasa naruh susu di tas Ivory itu mama?"

Ivory menatap papa seolah memastikan bahwa pria tersebut tidak sedang bercanda. Sedangkan papa sempat menoleh ke arah Ivory beberapa saat, sambil memastikan bahwa mobil yang dikendarainya berada di jalur yang benar. Kemudian, pria itu tertawa pelan, mengulurkan tangannya untuk mengusap-usap bagian belakang kepala Ivory.

"Ivory Inget nggak, waktu Ivory baru masuk SMP, yang abis dimarahin mama sampe Ivory nggak mau makan sama sekali?"

Tentu saja Ivory ingat. Bagaimana mama memarahinya karena Ivory salah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dan kalau dipikir, mungkin saat itu adalah awal mula Ivory memulai kebiasaannya. Mencatat segala hal. Memeriksa berulang kali. Memastikan tidak ada yang salah, tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang tertukar.

"Terus besoknya kamu seneng banget nemu susu di tas kamu dan langsung peluk papa?" Papa menganggap diamnya Ivory sebagai tanda bahwa anak satu-satunya tersebut masih ingat. Kemudian melanjutkan, "Waktu itu mama nggak berani minta maaf sama Ivory. Karena hari itu Ivory ngiranya papa yang kasih, makanya mama tetep masukkin diem-diem pas Ivory lagi sarapan. Papa kira Ivory udah lama tau."

Selama ini, Ivory menemukan susu kotak tersebut di dalam tasnya hanya ketika papa berada di rumah. Tidak pernah terlintas sedikit pun bahwa mama bisa melakukannya, dan sengaja melakukannya agar Ivory percaya memang papa yang melakukannya.

Ivory tidak jadi meminum susunya. Dipandangi kotak di tangannya tersebut seperti barang berharga. Matanya mulai menggenang. Mungkin selama ini mama yang terlihat seperti monster di matanya itu tidaklah terlalu jahat.

"Nanti siang papa berangkat. Ivory sama mama akur-akur ya di rumah."

***

Ivory tetap melanjutkan langkah, tidak peduli meskipun pagi ini ia melihat Silver--lagi di sana. Berdiri di dekat gerbang dan membelakangi jalan. Sepagi ini. Sambil pura-pura tidak melihat Ivory padahal perempuan itu sendiri melihat bagaimana Silver celingukan sebelumnya saat ia turun dari mobil.

Tangan Ivory tidak berhenti memutar-mutar kotak susu di tangannya sepanjang jalan dari gerbang depan hingga kelas di lantai dua yang entah mengapa terasa lebih jauh dari biasanya. Sambil terus berharap bahwa Silver tidak akan mengajaknya bicara atau pun sekedar menyapa. Ivory tidak ingin terjatuh lagi pada perasaannya terhadap laki-laki itu--untuk kesekian kali. Tidak lagi.

Jadi, begitu Ivory sampai di koridor lantai dua, dan mendapati Silver hanya diam memperhatikannya dari bawah, Ivory menghela napas lega dan sedikit agak kecewa dengan alasan yang tidak ingin diakuinya. Nggak apa-apa, Vo, pelan-pelan bisa, pikirnya menyemangati diri sendiri. Mengusap-usap dadanya yang masih berdegup kencang.

Pandangan sudah beralih ke depan, ke arah Aqil yang entah mengapa berada di tengah-tengah koridor kelas sebelas. Laki-laki itu terlihat gugup sambil mengusap-usap tengkuknya. Mendadak menjadi tenang begitu mereka bertemu pandang.

"Baru dateng, Vo?"

Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya ada yang mengatakan pertanyaan tersebut pada Ivory. Pasalnya, selama ini teman-temannya justru mengatakan bahwa Ivory selalu datang terlalu pagi. Termasuk saat ini. Jadi, Ivory tertawa pelan. Ikut menghentikan langkah begitu Aqil sudah berdiri di hadapannya.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang