DUA PULUH

5.6K 1.5K 341
                                    

Ivory bahkan tidak menyangka dirinya mampu mengabaikan Silver.

Untunglah teman-temannya yang sudah lebih dulu menempati salah satu meja itu melambaikan tangan padanya. Membuat Ivory berhasil berjalan cepat dan kabur dari sana dengan selamat, tanpa perlu merasa canggung.

"Ivory udah jadi anak mama beneran ya sekarang, udah dibawain bekal."

Ivory mencebik menanggapi gurauan teman-temannya. Hendak mengambil tempat duduk di samping Janeta, urung begitu seseorang sudah memegang lengannya lebih dulu.

"Vo, makan bareng kita yuk. Ivory-nya gue pinjem, ya."

Teman-temannya itu menoleh, terdiam sebentar sebelum akhirnya saling meleparkan tatapan khawatir yang kentara. Seolah-olah Ivory hendak dibawa ke neraka, tetapi mereka juga tidak bisa berkata apa-apa. Yang kemudian menciptakan suasana aneh yang membuat Ivory, atau Dela pun yang sudah merangkul lengannya itu, tertawa aneh.

"Astaga, gue cuma mau ajak makan Ivory bareng. Nggak akan gue bully. Kalian kenapa deh tiap liat gue bawaannya horor mulu?" Dela, yang dulu adalah anggota komdis OSIS--dipastikan murid yang duduk di meja itu sudah pernah terkena amukannya saat MOS--bertanya dengan nada tidak terima, pura-pura tidak tahu.

Kemudian, terciptalah tawa-tawa hambar dan senyum terpaksa yang membuat Dela makin geleng-geleng kepala dan segera menarik Ivory dari sana setelah melambaikan tangan menggoda.

"Temen-temen lo kenapa sih, padahal gue kan galaknya cuma tuntutan. Dari kemaren pas gue tanya lo di mana juga mereka ngeliat gue kayak gitu. Heboh banget."

Padahal sebelumnya Ivory bisa sampai keringat dingin ketika bertemu dengan kakak kelasnya itu untuk pertama kali, tetap canggung setelah beberapa pertemuan. Dan sekarang, perempuan itu justru duduk bersama mereka, yang selama ini membentuk kelompok belajar bersamanya tanpa perlu merasa gugup atau bingung. Meskipun tidak ada Silver di sana.

"Yah, padahal kita mau traktir lo hari ini."

"Masih nggak enak badan ya, Vo? tanya Debi-teman satu geng Dela-setelah menyesap jus jeruknya.

"Enggak kok, Kak." Ivory menjawab sopan. Duduk di antara Dela dan Debi. Berniat segera menghabiskan makan siangnya dengan cepat setelah beberapa menit waktunya terlewat begitu saja, begitu Ivory menyadari ada yang aneh dari obrolan dua kakak kelas di hadapannya.

"Gue juga tau kali kalo besi dan baja itu beda."

Seolah menyadari keheranan Ivory, Dela yang duduk di sampingnya berbisik. "Dari kemaren mereka kayak gini, udah cuekin aja," jelas perempuan itu sambil menggerakkan kepalanya ke arah Haris dan Aqil di hadapan mereka bergantian.

Ivory hanya mengangguk-angguk. Mulai mengunyah suapan pertamanya.

"Apa bedanya?"

"Yah ... pokoknya ... beda. Kalo besi bisa berkarat. Kalo baja enggak."

Mendengar jawaban Haris, Aqil tertawa meremehkan.

"Apa? Bener, kan?" lanjut Haris lagi.

Aqil tidak menjawab. Memilih melanjutkan makan siangnya yang sudah habis setengah. Kemudian, pandangnya bertemu dengan Ivory. "Menurut lo gimana, Vo?"

Ivory sempat mengerjap beberapa kali sambil melirik Haris dan Aqil bergantian, sebelumnya akhirnya menjawab, "Emm, nggak sepenuhnya salah, sih. Bedanya kalo besi dari bijih besi. Sedangkan baja, itu logam perpaduan dari besi, karbon, mangan, fosfor, silikon ...."

"Oke. Stop-stop-stop. Otak gue nge-lag. Udah lah. Lagian gue kan masuk masuk bisnis, kok jadi ngomongin besi sama baja, sih."

"Siapa tau lo nanti jadi juragan besi," celetuk Dian, teman Dela yang lain.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang