Ivory menyembunyikan wajah pada tangan yang terlipat di atas meja dengan tangan yang lain memegang lembar jawaban ulangan yang baru saja dibagikan. Kedua bahunya yang sedari tadi tegang itu dibiarkan jatuh tak bertenaga. Ia ingin menangis. Sungguh. Tidak pernah sekali pun perempuan itu khawatir dengan ujian mendadak seperti tadi. Tidak pernah sekali pun perempuan itu gugup dengan nilainya nanti. Karena Ivory selalu yakin, hasil dari kerja kerasnya selama ini tidak akan pernah berkhianat.
Jadi, begitu sadar bahwa ia baru saja mengurangi porsi kerja kerasnya dalam belajar tepat sehari sebelum ujian, Ivory mendadak tidak percaya diri. Belajar cepat kilat yang dilakukannya bersama Nina pun seolah tidak rela sekadar mampir ke dalam kepala yang pikirannya masih terbagi.
"Tebak nilai gue berapa, Ta?" Nina yang duduk di samping Ivory itu sudah balik badan menghadap Janeta. Bibirnya berkedut menahan senyum.
"Berapa?" Janeta yang sebenarnya sudah melihat nilai Nina tadi pura-pura penasaran.
"Delapan puluh! Delapan puluh! Delapan puluh!" Nina mengulangi kalimatnya seperti anak kecil yang kesenangan. Tubuhnya bergerak-gerak dari kiri ke kanan. Sambil menunjuk-nunjuk angka yang ditulis di sudut kertas jawaban ulangannya dengan semangat.
"Ivory yang dapet nilai seratus aja kalem. Elo baru dapet delapan puluh aja senengnya kayak udah dapet ranking satu."
"Kan kalo Ivory udah nggak aneh. Yang penting nilai gue lebih gede dari elo." Nina menjulurkan lidah mengejek Janeta yang kali ini hanya mendapatkan nilai tujuh puluh lima. Segera berbalik detik berikutnya untuk menghindari tangan Janeta yang berusaha memukul kepalanya. Kemudian keduanya tertawa, hingga Nina sadar, sedari tadi Ivory masih diam tertunduk.
Nina dan Janeta beradu pandang. Seolah sedang mengkonfirmasi, apakah yang mereka pikirkan sama. Cukup lama sebelum akhirnya Janeta yang lebih dulu mengedikkan bahu, menggelengkan kepalanya pelan sambil memberikan kode yang bisa diterjemahkan dengan jelas oleh Nina.
"Vo ... lo sakit?" Nina bertanya hati-hati, menyentuh pundak Ivory.
Ivory yang merasakan sentuhan di pundaknya itu menghela napas. Menegakkan punggung, menoleh ke arah Nina sambil mengulas senyum. "Enggak kok."
"Terus lo kenapa? Nilai lo enggak ...." Nina menggantungkan kalimatnya, melirik ke arah kertas jawaban Ivory yang sudah diletakkan di atas meja. Janeta ikutan penasaran. Buru-buru berdiri agar bisa melihat dengan jelas.
"Lo dapet seratus. Terus lo galau kenapa?"
Ivory tertawa hambar. Menggaruk-garuk tengkuk. "Enggak, Cuma ... emm ... kepikiran Silver." Ivory sama sekali tidak bisa mengatakan betapa takut dirinya karena sempat tidak bisa menuliskan jawaban dengan yakin hingga mengganti jawaban beberapa kali. Betapa leganya ia seolah berhasil keluar dari badai mengerikan.
"Eh, tadi katanya lo sama Kak Silver berantem?" Beruntungnya Nina sudah mengalihkan percakapan.
"Iya Vo, tadi ada yang bilang katanya Kak Silver sama Diko berantem gara-gara lo. Gimana ceritanya?"
Ivory menoleh ke arah Nina dan Janeta yang masih menatapnya penasaran. Kemudian, sempat melirik Diko yang duduk di kursi paling belakang. Bersiap untuk memulai cerita saat ponselnya bergetar lebih dulu.
Ada pesan masuk.
Dari Diko.
Gimana hasilnya?
***
Mama sedang menatap pajangan dinding yang diberikan Fuchsia tempo hari ketika Ivory—yang baru pulang sekolah—masuk ke dalam kamar. Sempat terpaku ia beberapa detik dengan canggung, sebelum akhirnya melanjutkan langkah seolah tidak ada siapa-siapa di sana. Meletakkan tas. Melepaskan dasi, ikat pinggang, dan pakaian. Hendak mandi ketika mama yang sedari tadi hanya diam saja akhirnya mengatakan, "Mama mau Ivory fokus sekolah dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...