Ivory masih mengabaikan perutnya yang terasa perih karena belum diisi seharian ini. Kepalanya yang berdenyut pening itu masih dijejali berbagai pikiran-pikiran yang membuatnya makin gelisah. Terlebih, ia sudah berbohong dengan Pak Amin, supirnya yang sudah menunggu sejak bel pulang berbunyi. Mengirimkan pesan maaf, sambil mengatakan bahwa Ivory sudah pergi ke tempat les bersama temannya, dan beralasan lupa mengabari. Di lain sisi, penyesalan Ivory karena bolos les untuk pertama kali dalam hidupnya itu mulai menyeruak. Mungkin seharusnya dia tidak bolos. Namun, begitu memikirkan Silver, Ivory yakin ia tidak akan bisa fokus selama di kelas nanti. Tetapi, Ivory sudah tidak belajar dengan benar hari ini. Mungkin, seharusnya Ivory tidak perlu merelakan waktunya begini. Namun ... tetapi ... namun ... tetapi ....
"Itu si Diko foto pakek kamera film, ya?" tanya Haris, sempat melirik Dela yang duduk di samping dengan majalah terbuka di pangkuannya.
"Udah pasti pakek kamera film. Tone-nya aja udah beda." Dela menanggapi setelah memperhatikan foto Ivory dan Silver itu cukup lama.
"Kalo kita foto produk pakek kamera film juga oke nggak, Yang?"
"Oke dari hongkong. Foto produk itu nggak bisa sekali. Mau ngabisin modal berapa banyak cuma untuk beli roll film? Belum biaya cuci fotonya. Belum kalo ternyata fotonya jelek, itu juga kita nggak bakal tau kalo fotonya belum dicetak. Nggak praktis. Bisa-bisa usaha belum balik modal udah rugi duluan cuma karena foto." Dela menjelaskan panjang. "Lagian, zaman sekarang orang-orang yang pakek kamera film ini emang cuma untuk hobi. Bukan bisnis."
Haris tertawa pelan. "Keren emang itu anak, masih kelas sebelas, jam terbangnya udah tinggi. Videonya juga bagus-bagus. Susah banget sih mau masuk klub itu dari zaman dulu." Haris mengambil jeda karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau. "Oh ya, kalo kita pakek jasa dia untuk foto jualan kita, bisa minta harga kakak kelas nggak ya kira-kira?"
"Coba nanti kamu tanya. Minta sampe setengah harga lah minimal. Kalo dia nggak mau kasih, ancem aja bakal kita bully. Kamu nanti pasang muka galak, Yang."
"Ide bagus."
Haris dan Dela tertawa.
Sedangkan Ivory yang duduk di kursi belakang, yang sedari tadi hanya mendengarkan keduanya itu mengulas senyum tipis. Pasti menyenangkan memiliki impian, memiliki tujuan untuk dicapai, melakukan hal-hal yang disukai, membicarakannya dengan pasangan yang memiliki visi dan misi sama ....
Ivory menghela napas frustasi.
Iri.
"Coba balik, Yang. Tadi aku liat ada foto cewek cantik lagi ketawa."
"Ngomongin cewek cantik aja ya, semangat. Seneng bener."
"Seneng lah. Apalagi cewek cantiknya lagi duduk di mobil aku sekarang. Iya nggak, Vo?" Haris mengaduh kuat begitu majalah dipangkuan Dela sudah digunakan untuk memukul kepalanya. "Maksudnya kamu loh," lanjut laki-laki itu lagi beralasan.
"Alah!"
Ivory tersenyum sopan. Sambil menutupi ketidaknyamanannya karena fotonya lagi-lagi menjadi bahan pembicaraan.
"Jadi, ceritanya Silver cemburu ya ini?" Dela berbicara lagi, mulai mengalihkan topik pembicaraan.
"Pastilah. Sekian banyak foto, kenapa Diko pakek foto Ivory untuk spotlight? Berarti dia lagi cari perhatian."
"Yang cari perhatian Diko, tapi marahnya sama Ivory."
Haris mengedikkan bahu. Melirik ke arah Ivory dar spion. "Lo sama Diko ... emang deket, Vo?"
Mobil tiba-tiba terasa lengang.
Pertanyaan Haris itu menggantung di udara beberapa saat. Tak bersambut. Namun, Haris dan Dela yang sangat penasaran itu masih menunggu dengan sabar. Hingga kemudian, Ivory yang hampir tidak pernah menceritakan hal-hal pribadi pada siapa pun itu menghela napas. Kalau boleh tidak menjawab, sebenarnya Ivory tidak ingin menjawab. "Cuma ... temen sekelas, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...