DUA

10.7K 2.4K 303
                                    

"Ivo, ini papa."

Ketukan di pintu kamarnya itu Ivory abaikan. Meskipun papa sudah memanggil hingga tiga kali, Ivory masih pura-pura tuli. Siapa tahu, dengan mengabaikan panggilan papa, pria itu menganggap Ivory sudah tertidur dan segera pergi dari sana.

"Ivory ...."

Panggilan kesepuluh dengan suara yang sama lembutnya, Ivory menyerah. Ia segera bangkit dan membukakan pintu. Namun, tak langsung membiarkan papa masuk begitu saja dan memilih berdiri menghalangi di celah pintu yang hanya selebar tubuhnya.

"Makan dulu, tadi kamu belum makan." Papa menyodorkan nampan dengan sepiring nasi dan segelas air putih di atasnya.

"Ivo nggak laper."

"Ivo tadi di tempat les udah makan?"

Ivory menggeleng.

"Isi dulu perutnya, biar bisa belajar. Atau Ivory mau makan yang lain? Biar papa beliin."

Sambil menghela napas, Ivory mengambil nampan dari tangan papa. Buru-buru masuk, hendak melanjutkan belajar saat papa justru ikutan masuk ke kamarnya.

"Papa tungguin sampe kamu selesai makan." Papa melanjutkan seolah mengerti arti tatapan Ivory.

Sekarang, perempuan yang rambutnya terikat itu tidak punya pilihan selain menyentuh makan malamnya walaupun ia sama sekali tidak berselera, dan membiarkan papa berkeliling, melihat-lihat.

Kamar Ivory adalah satu-satunya ruangan di rumahnya yang bercat putih tanpa walpaper dinding sama sekali. Tembok yang berseberangan dengan tempat tidurnya, penuh dengan rak buku bertingkat yang menempel di dinding. Meja belajar Ivory berada di sisi lainnya, dekat dengan jendela. Sama seperti buku yang Ivory bagi menjadi beberapa kategori dan disusun berdasarkan abjad, ukuran dan warna, barang-barang di meja belajarnya juga sama. Semuanya tersusun rapi-bahkan terlalu rapi. Beberapa catatan Ivory tinggalkan di sticky note seperti, 'PR Matematika dikumpul besok', 'Baca lagi buku Bahasa Indonesia halaman 42'.

Selesai membaca beberapa catatan yang Ivory tinggalkan di sticky note, papa beralih pada keranjang-keranjang kecil-masih di meja belajar Ivory-berisi flash card yang lagi-lagi dibagi berdasarkan warna. Papa yang penasaran mengambil dua flash card berwana merah, dan dua-duanya berisi rumus matematika. Lalu, memeriksa dua flash card di keranjang lain, yang berwarna biru muda, dan dua-duanya berisi rumus fisika. Jadi, papa menyimpulkan, warna-warna flash card itu Ivory bedakan untuk tiap mata pelajaran. Seperti hijau untuk biologi, biru tua untuk kimia, kuning untuk bahasa inggris.

Lalu, di sisi lainnya yang berhadapan dengan jendela, terdapat kaca yang Ivory gunakan sebagai papan tulis. Untuk kemudian menyalin kembali apa yang didapatkan di sekolah dan tempat les sebelum ia pindahkan ke buku catatan.

Papa menghela napas. Menyilangkan tangan di dada. Berdiri di tengah ruangan. Meneliti sekali lagi. Seprai, bed cover, gorden, hingga karpet di kamar Ivory semuanya polos tanpa motif. Berwarna nude senada. Tidak ada poster dan hanya ada satu foto yang menempel di pojok kiri atas papan tulis, foto Ivory dan Silver, itu pun sudah lecak--sepertinya pernah diremas.

Seketika ada yang terasa mengganggu pikiran papa. Ivory, cukup berbeda dengan remaja pada umumnya. Atau setidaknya, berbeda dengan anak teman-temannya yang ceritanya sudah sering papa dengar.

"Vo, kamu nggak suka korea-korean? Kayak ... siapa itu namanya ... emm ... Liminho? Tomingse? Siwon?"

"Enggak, Pa."

"Kalo Jepang?"

"Enggak juga."

"Terus Ivory sukanya apa?"

Ivory yang baru saja menelan makanan malamnya-sendok ke lima-terdiam.

Apa yang dia suka?

Kepala Ivory tiba-tiba terasa kosong, atau justru sedang bekerja lebih keras. Mencari jawaban yang seingatnya bahkan tidak pernah singgah. Tidak pernah terbesit. Tidak pernah ada.

Apa yang disukainya?

Ah, Ivory suka ... belajar.

Namun, Ivory tiba-tiba tidak yakin. Jika menyukai sesuatu rasanya sama seperti ia menyukai Silver, maka Ivory tidak benar-benar menyukai belajar. Rasanya berbeda. Ketika melihat Silver, ada perasaan bahagia yang menyeruak. Ada perasaan ingin terus menatap lebih lama, bersama lebih lama, menyentuh lebih lama. Namun saat Ivory belajar, itu sedikit berbeda.

Beberapa jenak kemudian, Ivory masih diam. Memilih tidak menjawab. Rasanya lebih mudah menjawab pertanyaan matematika paling susah yang gurunya pernah berikan daripada pertanyaan papa barusan.

"Ivory suka nyanyi? Suka gambar? Suka nge-dance? Suka baca?" Papa menyebutkan semua jenis hobi yang bisa disebutkannya. Mencoba menebak-nebak. Namun, pada akhirnya gelengan Ivory membuat pria itu terdiam. Ikut duduk di samping Ivory, di sofa di samping ranjang. Menatap anaknya yang masih berusaha memakan makanan yang belum berkurang setengahnya.

"Ivo tau nggak, temen papa kemaren cerita anaknya suka banget nonton drama korea. Kadang sampe subuh. Nonton konser. Minta beliin ... apalah itu namanya papa nggak ngerti. Sampe kamarnya itu penuh barang-barang kayak gitu. Terus kemaren dia cerita lagi, anaknya ngajak liburan ke Korea. Mau liat oppa-oppa katanya." Papa tertawa pelan seakan sedang menceritakan kisah lucu.

Sedangkan Ivory masih diam. Sama sekali tidak mendapatkan ide mengapa papa menceritakannya. Apakah papa sedang membandingkan dirinya dengan anak temannya?

Namun, pikiran buruk itu seketika menguap ketika papa mengusap-usap kepala Ivory. Melanjutkan, "Ivory kalo ada yang disuka, mau apa aja, bilang ke papa. Atau Ivory mau liburan juga ke Korea? Ke Jepang? Mau nonton konser juga? Nanti kita nonton bareng." Papa mengulas senyum, masih mengusap kepala Ivory.

"Ivory kalo udah capek belajar, boleh istirahat. Cari hiburan biar nggak terlalu pusing."

Raut wajah Ivory melunak. Kesal yang tertinggal karena mama tadi sudah lenyap, digantikan dengan perasaan hangat yang memenuhi rongga dada.

Kini, Papa sudah mengambil piring dan sendok dari tangan Ivory. Mulai menyuapi, bertanya dengan hati-hati, "Kalo papa lagi nggak di rumah, mama nggak marahin Ivo kayak dulu, kan?"

Tiba-tiba Ivory merasa udara di sekitarnya lenyap. Hening. Kosong. Hingga beberapa jenak kemudian, samar-samar telinganya menangkap suara-suara yang semakin lama semakin terasa dekat. Ivory buru-buru menutup kedua telinganya dengan telapak tangan rapat-rapat. Memejam. Meringkuk.

"Anak tolol! Masa dua tambah dua aja nggak bisa?"

"Sepeda itu nggak pakek h belakanganya Ivory! Mama harus bilang berapa kali!"

"Pelangi itu warnanya me-ji-ku-hi-bi-ni-u Ivory! Merah duluan! Bukan kuning!"

"Kenapa kamu cuma dapet nilai sembilan? Itu sepupu kamu bisa dapet seratus!"

"Kalo kamu nggak bisa bisa bedain mana bebek dan angsa, mama nggak akan kasih kamu makan!"

"Kamu harus dapet rangking satu Ivory! Bukan rangking tiga! Kamu mau buat mama malu?"

"Ivory! Kamu itu bodoh niruin siapa?"

"Ivory! Jangan malu-maluin mama! Mama udah nggak kerja demi kamu!"

"Ivory!"

"Ivory!"

"Ivory!"

"Ivo ... Ivo ... Ivo ... Ivo ... Ivory!"

Ivory tersentak. Langsung membuka mata. Mendapati papa sudah memegang kedua pundaknya. Sempat menatap khawatir sebelum menarik Ivory yang sudah berlinang air mata ke dalam pelukannya. Mengabaikan pecahan piring yang berserakan di sekitar kaki mereka.

"Ivory nggak bodoh, Pa. Ivory nggak bodoh."

Papa mengangguk, mengusap-ngusap kepala Ivory. Menenangkannya. Mengatakan bahwa Ivory anak pintar tanpa berpaling dari pintu kamar yang setengah terbuka. Menatap mama yang juga sedang menangis, berdiri di sana.

2 Maret 2021

Terima kasih sudah membaca!

Jaga kesehatan!

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang