Mama masih memandangi Ivory. Sambil mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah diperbuatnya kali ini hingga anak perempuan satu-satunya itu memilih belajar di sela-sela sarapan. Di mana biasanya, hanya Ivory lakukan jika perempuan itu enggan untuk berbicara dengannya.
"Mama ada salah ya sama Ivory?" Mama bertanya hati-hati.
Ivory yang sepenuhnya sedang berusaha membagi fokus pada makanan dan buku di depannya itu tidak mendengar mama sama sekali. Jadi, detik setelah perempuan itu sadar mama baru saja berbicara dengannya, Ivory mengangkat kepala, menatap mama, dan mengatakan, "Mama bilang apa?"
Melihat bagaimana Ivory tidak memandangnya seperti musuh, mama menggeleng pelan, mengulum senyum. Sedangkan Ivory hanya mengangguk, kembali melanjutkan kegiatannya.
Beberapa jenak berlalu, hanya suara dentingan piring keduanya yang sesekali terdengar. Kemudian, mama kembali bertanya, "Ivo hari ini ada ulangan?"
Ivory menutup catatannya. "Enggak, Ma. Cuma pengen baca aja."
"Tumbenan," komentar mama sambil bergurau.
Ivory tersenyum canggung. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali. Melirik ke arah mama ragu. Sempat memejam sebentar untuk mengumpulkan keberanian dan mengatakan, "Ma ... Ivo ... besok ... boleh izin les nggak?"
"Kenapa? Ivory ada kegiatan di sekolah?"
Ivory mulai menggigiti bibir. Melirik ke arah mama yang masih menunggu jawabannya. Kemudian beralih pada kaki di bawah meja yang sudah diayun-ayunkan. Kepalanya itu masih belum selesai merangkai kalimat untuk menjawab pertanyaan mama.
"Ivory capek? Mau istirahat?" timpal mama lagi karena Ivory masih belum menjawab.
"Ivo ... masih ada photoshoot, Ma. Ngelanjutin yang hari Minggu kemarin."
"Nggak bisa hari libur aja?"
Ivory menunduk. "Fotografernya yang nggak bisa, Ma. Hari Minggu besok, aku mau ketemu kenalannya Sya." Ivory menjelaskan lambat-lambat. Melanjutkan dengan terburu setelah beberapa saat, "Tapi aku udah minta jam tambahan dengan kakak pengajarnya."
Beberapa detik berlalu. Jantung Ivory mulai berdetak tak keruan karena mama masih belum memberikan jawaban. Terasa seperti bermenit-menit kemudian hingga dahi dan tengkuknya berpeluh. Untuk pertama kalinya, Ivory merasa sangat ceroboh karena tidak memasukkan hal terpenting, yaitu izin dari mama ke dalam rencananya. Padahal, tidak mendapatkan izin mama, sama aja Ivory harus menunda pemotretan. Menunda pemotretan berarti menunda peluncuran. Bagaimana jika Diko, Haris, dan Dela kecewa dengannya nanti? Bagaimana jika setelah ini mereka tidak berteman lagi? Bagaimana jika—
"Mama bukannya nggak bolehin Ivo, tapi Ivory masih sekolah. Mama maunya Ivo fokus dengan sekolah dulu. Kegiatan Ivo udah banyak. Kalo Ivo pengen kayak Sya, Ivo nggak perlu ...." Mama menghentikan ucapannya, melirik ke arah Ivory yang kini menatapnya kecewa dengan bibir terkatup rapat. Dan sebelum suasana berubah muram, mama buru-buru melanjutkan agar Ivory tidak salah paham, "Mama nggak mau Ivory kecapean dan sakit."
Sayangnya, mama tidak berhasil mencegah suasana meja makan yang sepenuhnya sudah berubah.
Kalimat penutup mama Ivory anggap sebagai jawaban : Ivory tidak mendapatkan izin. Jadi, dengan pikiran-pikiran yang mulai berjejalan di dalam kepala dan berbagai jenis perasaan yang memenuhi dirinya, Ivory memeriksa jam di ponsel, membereskan mejanya dengan cepat, tidak mengatakan apa pun lagi dan beranjak pergi mengabaikan mama yang terus memanggilnya.
Ivory ingin menangis, entah untuk apa. Ivory hanya ingin sampai di sekolah dengan cepat, bertemu teman-temannya, dan mengembalikan mood-nya segera agar Ivory bisa berpikir jernih lagi. Dan sekarang Ivory sepenuhnya tidak mengerti perasaan apa yang mendominasi kali ini. Ketika ia mendapati sopirnya sedang asyik mengobrol dengan seorang laki-laki yang kini tersenyum ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...