DUA PULUH SATU

5.2K 1.5K 262
                                    

Saat ini, mungkin Ivory sedang menangis, atau bersembunyi, atau bahkan sudah kabur meninggalkan sekolah. Setelah apa yang diperbuat Mint kepadanya, perempuan itu pasti membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, kan? Setidaknya, itulah yang dipikirkan Diko sambil berkeliling mencari Ivory, dan mengabaikan bel masuk yang sudah berbunyi sepuluh menit lalu.

Mulai dari toilet di tiap lantai bangunan sekolah, taman, hingga gudang. Namun, Diko tetap tidak menemukan Ivory di mana pun. Jadi, laki-laki itu mengambil kesimpulan bahwa Ivory mungkin sudah pulang. Kembali ia ke kelas. Menyimpan seluruh buku catatan Ivory yang diambilnya dari Mint ke dalam loker, kemudian ia justru menemukan perempuan itu di sana.

Duduk di kursinya. Di dalam kelas. Mengikuti pelajaran.

Laki-laki itu terpaku untuk beberapa saat. Kemudian tertawa konyol sambil menggeleng-geleng. Masuk ke kelas dengan santai. Meminta maaf kepada gurunya dan beralasan bahwa ada kegiatan klub fotografi yang tadi harus dilakukan. Menoleh sebentar pada Ivory yang duduk paling depan itu dan terlihat sama sekali tidak peduli, kemudian langsung menuju kursinya di barisan paling belakang.

"Ivory tadi langsung masuk ke kelas?" Diko berbicara dengan suara sepelan mungkin, sambil mengeluarkan bukunya dari dalam tas.

Teman sebangkunya mengangguk. "Pas gue masuk kelas udah ada dia."

"Gue kira dia bakal bolos."

"Karena Mint tadi? Ya nggak bakal. Nggak ada sejarahnya Ivory bolos kelas. Cewek itu kalo urusan belajar nomor satu."

Apakah Diko sudah berlebihan karena menganggap Ivory lemah?

"Keren juga itu anak, berani ngelawan Mint. Coba Silver nggak muncul."

Atau mungkin Ivory hanya pura-pura kuat? Karena tadi Diko melihatnya sendiri, dengan jelas, tangan Ivory yang gemetaran setelah menampar Silver.

***

Begitu bel pulang berbunyi, Diko keluar kelas lebih dulu. Sengaja menunggu Ivory di koridor, di depan loker. Ia tidak ingin perempuan itu tiba-tiba kabur jika tahu ia menunggunya di dalam kelas. Lima menit sudah berlalu, teman-teman terdekatnya sudah pulang lebih dulu. Namun, Ivory masih belum menampakkan diri. Jadi, laki-laki itu mengintip ke dalam kelas. Melihat Ivory yang masih duduk di kursinya. Sendirian. Tidak melakukan apa pun.

Buru-buru Diko mengambil buku catatan Ivory dari dalam loker, memasukkannya ke kantong plastik—ia tidak menemukan paper bag atau apa pun yang lebih baik dari itu—dan kembali masuk ke kelas. Tidak ada air mata. Tidak ada pula raut sedih atau pun kecewa. Perempuan itu hanya terlihat lelah. Mungkin karena itu, Ivory tidak menghindari Diko, dan menerima buku catatan yang sebelumnya ia pinjamkan pada Silver begitu saja tanpa penolakan seperti sebelumnya.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Keduanya masih tidak ada yang bersuara. Hingga kemudian Ivory beranjak lebih dulu. "Thanks." Dan berlalu pergi meninggalkan Diko yang masih duduk di meja guru. "Lo ... ada hubungannya dengan semua ini?" Perempuan itu berhenti di depan pintu kelas. Berbalik. Menatap Diko sekali lagi. Hendak memastikan, apakah semua hal tidak menyenangkan yang terjadi kepadanya belakangan, ada hubungannya dengan laki-laki tersebut.

Yang ditanyain balik menatap Ivory. Tidak langsung menjawab. Sempat terlihat tidak yakin. Sebelum akhirnya menggeleng. "Enggak," jawabnya singkat.

Ivory tidak mengatakan apa pun lagi. Hanya mengangguk. Siap berbalik pergi saat Diko kembali melanjutkan, "Vo ... ngerasa depresi sesekali itu nggak apa-apa. Nggak perlu ditahan," ujarnya mengalihkan pembicaraan.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang