Diko tersenyum masam.
Permohonannya tidak cukup untuk membuat ia sekelas dengan Ivory. Ingin menawar harga lebih tinggi pun, Diko tidak mampu karena biaya untuk kelas royal sendiri sudah luar dijangkauannya karena ia menggunakan tabungan sendiri—dan tetap tidak bisa meskipun ia memiliki uang. Padahal, beberapa hari ini, Diko sudah membayangkan masuk ke kelas yang sama dengan Ivory agar bisa memperhatikan dari dekat bagaimana cara perempuan itu belajar. Namun, ia justru berakhir di kelas normal berisi dua puluh siswa--satu-satunya kelas yang masih dibuka, dan menyadari tidak ada bedanya dengan ketika ia belajar di sekolah.
Agar ia tidak terlalu menyesal karena sudah mendaftar, begitu istirahat sebelum pertemuan berikutnya, Diko cepat-cepat beranjak. Mengekori pengajarnya keluar ruangan. Menuju tempat Ivory, yang mana pintunya masih tertutup rapat.
Diko menunggu sebentar. Tiga menit, pintu itu belum bergerak. Menunggu lagi ia dengan sabar. Tiga menit berikutnya, pintu kelas royal terbuka. Diko yang berdiri, bersandar di dinding samping pintu itu, segera menyiapkan diri untuk menyapa Ivory. Namun, hingga pintu tertutup kembali, yang keluar hanya dua orang murid lain. Sedangkan Ivory dan seorang pengajar, masih bertahan di dalam.
Karena tidak ada tanda-tanda Ivory akan keluar, Diko akhirnya mengintip. Ingin tahu apa yang sedang perempuan itu pelajari atau diskusikan sampai-sampai merelakan jam istirahat. Kemudian teringat, sebelum masuk tadi, Ivory mengatakan soal tambahan. Memang Ivory kurang apa lagi sampai-sampai meminta pelajaran tambahan di luar jam lesnya?
Diko mengedikkan bahu menjawab pertanyaan di dalam pikirannya sendiri.
Matanya mulai menjelajahi ruangan yang hanya ditempati oleh tiga siswa itu dengan cepat. Ruangan tersebut jelas lebih kecil dari ruangannya. Dibanding kelas, ruangan yang Ivory tempati sekarang mirip seperti ruangan pribadi. Tidak seperti di kelasnya yang menggunakan kursi meja lipat biasa, di kelas Ivory justru terdapat meja oval yang besar, dan tiga kursi berbusa tebal yang sangat nyaman. Disudut ruangan terdapat teko air panas, minuman-minuman saset, susu, camilan, hingga roti. Sekarang Diko paham setelah melihat sendiri, mengapa harga kelas royal dan kelasnya bagaikan bumi dan langit.
Setelah cukup memuaskan rasa penasaran, Diko sudah kembali memperhatikan Ivory yang terlihat sangat fokus, kemudian, beralih ke arah pengajar yang sedang menulis sesuatu di papan.
Diko tahu, itu bukan materi yang ada di kelas sebelas. Kemudian, sambil mengangguk-angguk entah untuk apa, laki-laki itu mengeluarkan ponsel, mengetikkan sesuatu di folder catatan yang ia beri nama Ivory. Dan berjalan pergi sambil mengulas senyum.
***
Rupanya, Diko masih belum puas karena belum bertemu Ivory lagi. Begitu kelasnya selesai, ia nyaris setengah berlari hanya untuk memastikan Ivory belum keluar lebih dulu dari kelasnya. Dan untungnya, Ivory memang belum keluar.
Setelah menunggu beberapa saat, perempuan itu akhirnya menampakkan diri. Tidak menduga karena Diko tahu-tahu muncul di samping pintu dan berjalan beriringan dengannya.
"Pulang sama siapa, Vo?"
"Dijemput mama." Ivory menjawab singkat sambil memeriksa ponsel. Takut jika mama sudah menunggu lama sedari tadi karena mereka masih harus menjemput papa di bandara yang sudah sampai sejak setengah jam yang lalu.
Diko sempat terdiam dengan dahi berkerut dan senyum tertahan. Seolah-olah jawaban Ivory yang pulang dijemput mamanya adalah sebuah kebohongan agar Diko tak menawari pulang bersama. Karena selama ini, Diko tahu, Ivory hanya pulang dengan sopirnya atau dengan Silver.
Membuang pikiran buruknya sebentar, sambil menuruni tangga, Diko melanjutkan lagi, "Besok-besok, kalo les bareng, berangkat dan baliknya sama gue aja, Vo."
KAMU SEDANG MEMBACA
IVORY (SELESAI)
Teen FictionKetika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kembali oleh Mint, adik sang mantan pacar penyebab mereka putus. Belum lagi Ivory yang hanya tahu cara...