SEMBILAN BELAS

5.3K 1.5K 261
                                    

Langkah Ivory terhenti sejenak di depan pintu kelas. Pandangannya bertemu dengan Diko yang duduk di meja guru dan juga sedang menatapnya. Seolah-olah kedatangan Ivory memang sedang ditunggu sedari tadi.

"Udah sehat, Vo?" Diko menegakkan punggung, mencoba memulai percakapan dengan santai.

Namun, tidak ada jawaban. Hingga keduanya melirik dengan canggung ke arah paper bag yang Ivory tenteng. Hanya sepersekian detik. Ivory melengos lebih dulu. Melanjutkan langkah. Tidak peduli.

Sigap, Diko berdiri. Menghampiri Ivory yang kini menyodorkan paper bag berisi kamera polaroid--hadiah dari laki-laki tersebut, ke arahnya.

"Vo, gue punya penjelasan." Diko mendorong pelan tangan Ivory.

Ivory sedang dan tidak ingin mendengar apa pun. Sebelum tangannya yang masih menggantung udara itu terasa pegal karena Diko tak kunjung mengambilya, Ivory bergeser sedikit ke samping. Maju selangkah dan meletakkan kamera tersebut di atas meja guru, di belakang Diko. Langsung balik badan, menuju tempat duduknya.

Menghadapi Ivory tidak pernah mudah, meminta untuk mendengarkannya pun perempuan itu pasti enggan. Untuk itulah Diko berinisiatif menjelaskan lebih dulu. "Foto itu gue ambil pas acara The Colors of Art Project tahun lalu. Lo lagi nonton lomba kabaret dengan temen-temen lo, di auditorium."

Tangan Ivory yang sedang memeriksa isi tasnya itu terhenti. Ingatan acara besar yang diadakan sekolahnya tiap tahun itu terlintas. Saat itu, Ivory baru selesai mengikuti olimpiade fisika, dan ia dipaksa untuk menonton lomba kabaret oleh teman-temannya yang terus mengatakan dengan semangat bahwa pertunjukkan tersebut sangat lucu, dan Ivory harus melihatnya. "Hiburan biar lo nggak stress abis ngerjain soal, Vo."

Ivory tidak bisa menolak. Membiarkan teman-temannya menggiringnya ke auditorum yang dipenuhi penonton. Berhasil menyelinap di salah satu deretan kursi di depan—kursi itu sudah diamankan sebelumnya oleh salah satu panitia, teman mereka yang lain. Menonton lomba kabaret yang kebetulan baru setengah dari total keseluruhan peserta yang sudah tampil dengan nyaman. Tertawa lepas hampir disepanjang pertunjukkan. Dan dari sanalah Diko bisa mendapatkan foto Ivory yang kemudian digunakannya sebagai salah satu sorotan sebagai pemenang.

"Gue bisa tunjukkin satu roll film dari acara itu, dan juga ratusan file foto kalo lo nggak percaya. Isinya bukan cuma foto lo. Gue emang lagi perhatiin lo saat itu, gue ngaku. Tapi, gue bukan stalker kayak yang orang-orang omongin."

Ivory agak tersinggung. Isinya bukan cuma foto lo. Memangnya kapan Ivory menjadi sangat percaya diri dan menuduh Diko hanya mengambil gambarnya?

"Pihak majalah minta foto-foto terbaik yang gue punya untuk dimuat di halaman spotlight. Mereka minta kalo bisa ada foto lo juga. Karena yang buat gue menang, itu karena lo. Karena ekspresi lo. Mereka bener-bener suka. Ini, chating dari mereka kalo lo nggak percaya."

Ivory yang sedari tadi masih mencoba mendengarkan--karena laki-laki itu terus berbicara, dan berdiri membelakangi Diko itu berbalik. Melirik sebentar ke sekitar karena beberapa teman sekelasnya baru saja datang sedang melihat ke arah mereka dengan penasaran. Kemudian menatap ponsel dengan sebuah ruang obrolan yang terbuka dan disodorkan ke arahnya.

"Terus kenapa lo nggak bilang gue?" Ivory tidak mengambil ponsel tersebut, masih mencoba berbicara dengan intonasi rendah.

"Gue udah WA, udah telepon, dan udah coba ngomong sama lo secara langsung. Tapi lo selalu cuekin gue. Lo selalu ngehindarin gue sejak lo marah sama gue waktu itu."

Ivory mengernyit. Selain perutnya yang tiba-tiba mual. Tangan yang mulai gemetaran. Dan keringat dingin yang mulai membutir di tengkuk dan dahi, ada perasaan yang cukup asing, sedang mengetuk-ngetuk sudut lain di dalam dirinya seolah sedang mencari pintu keluar. Kemudian, berhasil lolos dan membuat Ivory tertawa pelan.

IVORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang