Part 14 : Take me away from this truth

678 38 0
                                    

Ariana POV

Aku terbangun dari tidur karena mencium aroma yang begitu asing, seperti cologne atau sesuatu yang lain. Aku mengatakannya dalam maksud positif karena aku bersumpah jika aku memejamkan mataku sekali lagi, mungkin aku akan kembali tertidur. Perlahan aku bangkit dari kasur, mulai melihat apa saja benda-benda yang mengelilingiku.

Yah... benar, benda-benda serba putih ini adalah milik Neymar. Aku berada di tempatnya sekarang. Dan aku sedang tidur di atas ranjang yang kemarin ia gunakan sebagai tempat mesum bersama si gadis pirang. Ughh... terimakasih dia sudah membawaku kemari. Lain kali aku lebih memilih untuk tidur di sofa saja, nyaris saja aku terkecoh dengan bau lembut yang membangunkanku, bisa saja itu bukan parfum Neymar, bisa saja itu adalah aroma parfum wanita, atau itu adalah bau sperma. Cukup Ariana... jangan berpikir sejauh itu, kau sama sekali tak tahu apa-apa tentang sperma, termasuk baunya. Ah... tetap saja tak dapat dipungkiri bahwa aku sedang tertidur di tempat mesum yang entah sudah berapa wanita pernah tidur di sini.

Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas, rasanya tubuhku sendiri bagai dipukuli oleh banyak orang. Apa yang terjadi tadi malam benar-benar masih tergambar dengan jelas dibenakku. Bagian favoritku adalah saat Neymar memenangkan pertarungan dengan sempurna. Kau yakin Ariana?, kau sama sekali tak memikirkan tentang ciuman itu?. Ciuman yang membuat jantungmu seperti ditarik-tarik selama beberapa menit setelahnya. Ya baiklah... aku harus mengakui bahwa bagian terbaiknya adalah ciuman itu. Aku benci mengatakan ini, tapi sungguh, ciuman Neymar tadi malam adalah ciuman pertama setelah lima bulan lebih aku tak pernah berciuman dengan pria, dan aku saja mungkin sudah lupa bagaimana caranya. Arianaa... berhenti berpikiran seperti ini, kau tidak mau kan terlihat oleh Neymar dalam keadaan memalukan, pipimu tidak akan padam hanya dalam waktu beberapa menit. Aku gagal, maafkan aku, tapi aku benar-benar menyukai ciuman tadi malam.

Di luar aku melihat Neymar masih terlelap di atas sofa, dengan semangkuk air dan juga selembar handuk yang tergeletak begitu saja di atas meja. Aku jadi merasa bersalah karena tadi malam harus tertidur lebih awal dan tak bisa membantu Neymar untuk membersihkan lukanya. Dia tertidur nyenyak sekali, meringkuk menghadap ke sandaran sofa. Melihatnya dengan keadaan seperti itu, aku akan lupa bahwa tadi malam pria ini benar-benar menggila di arena.

Aku mulai berjalan ke arah dapurnya, membuka beberapa tirai yang ada di sana dan mulai membuka kulkasnya, kita lihat apa yang ada di sana?. dan aku sama sekali tak terkejut jika di dalamnya tak ada apa-apa. Dia pasti jarang sekali memasak. Baiklah lupakan tentang makanannya, mari kita lihat apa minuman yang ia punya, selain bir tentunya. Perhatianku tertuju pada mesin pembuat kopi yang ada di meja bagian pojok. Dia menyukai kopi?. benar, dan aku menemukan kopi bubuk lainnya di salah satu lemari makanannya. Rasanya sudah lama sekali aku tak bermain-main dengan mesin pembuat kopi, padahal terakhir kali aku memegangnya adalah kemarin.

Terpikir olehku untuk membuat kopi pahit seperti yang pernah Denis pesan padaku. Tak salahnya mencoba metode pelarian diri dengan caranya, disamping "pelarianku" sama sekali tak membuatku terasa lebih baik. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan kopi hitam yang kental, tanpa gula dan super panas. Dengan meyakinkan diriku bahwa kopi ini lebih pahit dibanding dengan kenyataan hidupku, aku mulai menyeruputnya. Pikiranku mulai melayang pada Carla, tak dapat dipercaya bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungku. Ia tak pernah sekalipun membedakan kasih sayang antara aku, Anita dan Paul. Dan juga Joseph, orang yang selama ini kuanggap adalah ayahku sendiri, sama sekali ia tak pernah menyinggung masa lalunya dengan Carla, baginya Carla adalah istri satu-satunya yang begitu ia cintai. Anita, kakakku yang sangat kucintai meski dengan rasa bencinya terhadapku. Juga Paul, adik kecilku yang sering kubantu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Menyakitkan sekali jika harus menyebut mereka bukan keluargaku.

Tanpa terasa aku telah menghabiskan setengah gelas kopi itu, aku tersenyum hambar, sebegitu menyedihkannya kah kisah hidupku, hingga pahit dan panasnya kopi ini pun tak terasa lagi di lidahku. Aku melihat Neymar yang berjalan ke arahku dengan lunglai, mungkin karena lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Pria itu tak boleh bertarung dulu sebelum keadaannya membaik.

ArianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang