Twenty Four

431 28 3
                                    

Prang

Gelas kosong yang terletak di atas nakas kini telah hancur karena Ariel yang melempar nya. Pecahan beling berserakan di sekitar lantai kamar Ariel. Ariel benar-benar marah. Ia tak terima dengan hukuman konyol yang Nico berikan. Jika tak ingat siapa Nico, malam ini ia sendiri yang akan membunuh Nico dengan pisau kesayangannya.

Lalu Mike. Mengingat wajah Mike membuat amarah Ariel kian menjadi. Bisa-bisanya Mike berkata seperti itu pada Ariel. Apakah Mike tak tahu siapa dirinya? Jika mau, ia juga bisa melenyapkan Mike. Tapi hal itu tak akan ia lakukan. Ia mempunyai firasat bahwa Mike bukan orang yang bisa ia anggap remeh. Bukannya Ariel takut, tapi ia sedang berusaha menyelidiki seperti apa seorang Mike. Jika memang Mike orang yang mengancam reputasinya sebagai pria baik bak malaikat, maka barulah ia akan memikirkan bagaimana cara menarik untuk melenyapkan Mike.

"Brengsek!"umpat Ariel menggertakan giginya pertanda ia sangat emosi. Tangannya mengepal kuat. Wajah putihnya kini sudah memerah karena amarah.

"Lo pikir lo siapa bisa rebut Aurel dari gue hah?!"teriak Ariel menggelegar.

Bugh.
Ia meninju tembok kamarnya sekuat tenaga untuk menyalurkan emosinya. Tak perduli jika kini tangannya terluka dan mengeluarkan darah segar. Baru saja ia bersenang senang dengan Aurel, semuanya lenyap dalam sekejap. Dan itu semua berawal karena kedatangan Mike. Apa kematian Luna belum cukup bagi keluarga Mike? Apa ia harus menambah kesedihan keluarga Mike dengan membunuh adik laki-laki nya? Ariel menggeleng. Tidak ada sejarahnya seorang Ariel menghabisi bocah kecil yang tidak berdosa.

Drrtt
Ariel meraih ponselnya yang bergetar menandakan ada telpon masuk. Kemarahan nya sedikit berkurang saat Aurel lah yang menghubungi nya. Dengan gerakan cepat ia menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan telpon dari Aurel.

"Halo, Ariel?"

Suara lembut Aurel perlahan mulai menghangat kan hati Ariel yang sebelumnya mendidih. Ia berjalan ke arah balkon dan duduk di kursi yang ada disana agar acara telpon nya dengan Aurel terkesan nyaman.

"Iya, sayang"

"Em...kamu marah ya, sama aku?"

"Marah? Nggak kok. Kenapa aku harus marah coba?"

"Gara-gara kak Nico sama kak Mike, mungkin?"

Ariel terkekeh agar di seberang sana Aurel tak merasa bersalah. Ya, ia tahu sekarang Aurel tengah merasa bersalah. Terdengar jelas dari suara Aurel yang sedikit gugup.

"Aku emang marah sama mereka. Tapi kalau sama kamu enggak"

"Beneran? Aku takut kalau kamu marah sama aku, Riel"

"Iya, sayang, beneran. Aku gak marah sedikit pun sama kamu"

"Huft.. syukurlah. Terus besok gimana? Kamu yang jemput aku, kan?"

Ariel menghela nafas panjang. Bagaimana pun juga, ia harus tetap menuruti perkataan Nico.

"Nggak bisa, sayang. Kamu tahu sendiri tadi kakakmu bilang apa. Aku gak mungkin ngelawan kakak kamu"

"Tapi aku gak mau berangkat sama kak Mike, Ariel. Aku maunya sama kamu. Pokoknya aku maunya cuma sama kamu. Titik!"

"Terus aku harus gimana?"

"Jemput dong. Aku gak peduli sama omongan kak Nico"

"Tapi—"

"Aku bakalan ngambek kalau kamu gak jemput aku!"

Ariel meringis mendengar ancaman Aurel. Hatinya sedikit senang karena ternyata Aurel bersikeras untuk berangkat sekolah bersamanya, bukan menuruti ucapan Nico.

My Psychopath BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang