32. Confession

3.9K 431 39
                                    

Langit hari itu tertutup kelabu, udara dingin menembus raga meski telah berupaya menghalau dengan jaket denim yang dikenakan. Penciuman menghidu aroma petrikor memberikan rasa nyaman, musim penghujan telah datang namun, tak mengurangi niat seorang pria di usia awal tiga puluhan untuk memijak pada tanah yang mulai basah akibat berbenturan langsung dengan rintik air langit. Langkah kakinya tergesa memasuki salah satu kafe, menepuk beberapa kali pada rambut juga pakaiannya yang basah sambil mengedarkan pandang.

Manik mata kelamnya menangkap satu sosok dalam visualisasinya, membuat sebuah simpul terpatri di wajah dan semua keresahan yang dirasakannya tiba-tiba menguap begitu saja. Ia kembali membawa langkahnya mendekat pada satu meja di dekat jendela, di mana seseorang duduk di sana dengan secangkir kopi sebagai teman. Cantik dan anggun seperti biasa, membuat rasa rindu di dadanys semakin membuncah.

Seminggu tak jumpa nyatanya cukup membuat degup jantungnya berdebar hebat serta deru napas jadi tak karuan. Beberapa detik lalu rasanya masih begitu menyenangkan dapat kembali bertemu dengan sosok yang dirindukannya itu, sampai satu fakta menyakitkan menyadarkannya perihal keadaan saat ini.

Pria itu memicingkan mata untuk sesaat, meraup oksigen sebanyak yang ia mampu guna menenangkan diri sendiri. Baiklah, ini akan menjadi awal peneguhan hati bahwa ia mampu mereda nyeri meski mungkin setelah ini lukanya akan terus mengaga tak terobati. Refleks sebuah senyum kaku ia layangkan begitu saja ketika wajah yang sejak awal hanya memandang keluar jendela, kini menitikkan atensi padanya.

"Ekhem ... Hai, nunggu lama, ya?" adalah kalimat awal ketika ia sampai di depan meja itu. Sapaan kaku dan mampu membuatnya merutki diri, canggung sekali.

Sepasang manik mata kelam yang masih menatapnya itu mengerjap beberapa kali dengan bibir sedikit terbuka, terkejut tentu saja. Cukup membuat pria itu kembali merutuki dirinya sendiri karena sudah bersikap bodoh.

"Hah ...? Ng-nggak, kok, Kak. Pesananku juga baru dateng," sosok di hadapannya itu menipiskan bibir, coba mencairkan kecanggungan yang mendominasi, "duduk, Kak," lanjutnya kemudian yang tentu saja langsung diamini oleh yang lain.

Katakan seorang Fluke Pusit Dittapisit bodog, mungkin itu memang kenyataannya. Pertahanannya roboh begitu saja ketika manik matanya bersibobrok dengan First—terkasihnya. Ia jelas merindu hingga rasanya ingin mati saja dan tatapan teduh milik First tidak membantu sama sekali, semakin membuatnya dimabuk rasa yang sayangnya tidak bisa dengan gamblang ia utarakan saat ini.

Salah satu tangan First terulur setelah merogoh kantong jaket yang dikenakannya, meraih sapu tangan yang selalu ia bawa. Fluke bisa merasakan sentuhan lembut pada wajahnya, tersalurkan dari fabrik dalam genggaman First. Diam-diam Fluke mengadu pada Tuhan, agar waktu berhenti pada detik ini saja, hidupnya lengkap dengan kehadiran First untuk selalu ada di sisinya.

"Kenapa, nggak neduh dulu? Basah semua, 'kan, jadinya," ucap First masih fokus mengusap wajah serta rambut Fluke yang basah karena air hujan.

Fluke terdiam, ia terpaku karena masih bisa meraskan kasih yang disalurkan oleh First. Ah, ayolah, ini baru seminggu sejak mereka memutuskan hubungan, tentu rasa yang dibangun selama ini tidak akan hilang secepat itu, 'kan?

"Takut kamu nunggu kelamaan," ia berdeham sebelum membalas pertanyaan tersebut, menguasai diri sendiri.

"Masih ada 45 menit sampai waktu janjian kita," sergah First yang sudah menarik kembali tangannya, menyudahi afeksinya.

Fluke lantas melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Benar, masih ada cukup waktu tapi, apa yang busa diharapkan dari satu persona yang tengah dilanda rindu?

"Aku juga baru sampe, kalo sakit, gimana?"

"Nggak papa," balas Fluke masih menatap pada netra kelam First

VIHOKRATANA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang