6. Café du Frère

9.2K 1.1K 130
                                    

'Klining!' suara pintu kafe berbunyi menandakan adanya pelanggan yang baru saja memasuki gedung dengan ornamen cokelat, hitam, putih dan abu itu.

"Selamat datang, bisa dibantu dengan pesanannya, Kak?" ucap seorang pramuniaga ramah sambil tersenyum, menyambut pelanggan yang baru saja datang tadi.

"Seperti biasa."

"One hot cappuccino with additional sugar and one red velvet cake, ada lagi, Kak?" lanjut sang pramuniaga yang memang sudah menghapal di luar kepala dengan pesanan pelanggan setia mereka.

Pelanggan itu bergumam sambil bercelingak-celinguk melihat sekitar sampai saat manik matanya menemukan satu sosok yang dicarinya, "tolong siapin piring, sama alat makan ya." Tanpa perlu lagi meminta penjelasan, pramuniaga tersebut menganggukkan kepalanya mafhum.

"Tagihannya dimasukin ke owner ya, Kak."

"Eh, nggak usah. Saya bayar aja," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang pecahan terbesar.

"T-tapi Kak-," ucapannya terpotong.

"Saya yang minta, biar nanti saya yang bicara sama abang." Telak, ia tak ingin dibantah. Meskipun dengan ragu-ragu, pada akhirnya sang pramuniaga menerima uang yang diserahkan oleh pelanggannya tadi.

"Ditunggu ya, Kak. Terima kasih," lanjut pramuniaga sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Pelanggan tersebut tersenyum, kemudian berlalu dan langsung melangkahkan kakinya menuju satu meja di pojok tengah ruangan dengan sofa empuk yang selalu menjadi tempat favoritnya dan kebetulan sudah diisi oleh seorang pria yang sibuk berkutat dengan lembar-lembar kertas dalam genggamannya nampak serius. Tak banyak bicara, pelanggan tadi langsung mengambil duduk di samping pria tersebut dengan hati-hati seakan tak ingin mengganggu. Meletakkan beberapa bungkus goodie bag di atas meja, menunggu diantarkan piring dan alat makan pesanannya tadi.

Merasa sedikit terusik, pria tersebut mengalihkan pandangnya dari lembar-lembar kertas di tangannya pada sosok yang kini sudah berada di sampingnya.

"Hai," sapa sosok itu sambil tersenyum.

Pria yang sedari tadi terlihat serius itu akhirnya balas tersenyum, "hai," ucapnya juga balas menyapa.

"Udah lewat jam makan siang. Makan dulu, yuk."

"Kamu bisa hubungin si adek, nggak?" tanyanya penuh khawatir.

"Adek yang mana? Nanon belum bales chat, kayaknya masih tidur. Nggak usah khawatir soal Frank, aman." Lelaki itu berucap dengan tenang, seakan tak perlu mengkhawatirkan apapun, padahal sejak terjaga pagi tadi sosok di hadapannya itu sudah kalang kabut tak menemukan presensi persona yang biasanya tak pernah bisa bangun pagi di kamarnya.

"Serius, Mon."

"Kapan aku nggak serius sama kamu sih, Bang?" ucapnya balas bertanya.

Purim menghela napas kasar, memijat batang hidungnya untuk mereda pening. "Papa kalang kabut banget nggak bisa hubungin Frank. Ayah lebih santai karena tadi pagi-pagi banget sempet di telpon Frank, tapi tau sekarang anaknya nggak bisa dihubungin ya ikut kalang kabut juga jadinya. Nanon bener kayaknya belom bangun, dia tidur pagi."

"Makan dulu, yuk," ajaknya lagi membujuk agar sosok pria di sampingnya ini lebih tenang.

"Kamu beneran tau Frank di mana?"

"Dia butuh waktu sendiri, Bang. Biarin dulu, aman kok. Aku yang nyaranin tempatnya."

"Ya ampun, Chimoooooonnn!" Purim melepaskan begitu saja lembar-lembar kertas yang sejak pagi tadi ia pelajari dan sama sekali tak ada yang nyangkut di otaknya. Kedua telapak tangannya membenam wajah sambil sesekali mencoba mengatur napas, rasanya seperti mengetahui nyawanya tak jadi dicabut dan mendapatkan kesempatan kedua untuk tetap hidup. Purim memang selalu berlebihan jika itu menyoal keluarganya.

VIHOKRATANA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang