38. Restu

3.1K 315 144
                                        

Frank melangkahkan kakinya memasuki rumah dengan debar di dada yang membuat gelisah. Pikirannya menerawang setelah membaca pesan-pesan singkat yang masuk dari sang ayah. Entah hal mendesak apa yang membuat ayahnya itu memaksa untuk bertemu dengannya sesegera mungkin. Hal itu cukup membuat pikirannya menerawang jauh tentang berbagai kemungkinan. Pasalnya dari intonasi pesan yang diterimanya, sang ayah terlihat sangat marah.

Tatapan matanya mengedar ke penjuru sudut rumah untuk mencari sosok sang ayah namun, rumah siang itu sangat sepi seperti tak ada tanda-tanda kehadiran anggota keluarganya yang lain. Frank mengembuskan napas dengan pundak menurun juga perasaan lega karena tak harus langsung bertemu dengan sang ayah saat ini. Ia lantas memutuskan untuk segera naik ke lantai teratas menuju kamarnya, tak ada salahnya mengistirahatkan diri sebelum berbicara serius dengan sang ayah, pikirnya.

Tangannya masih berpaut dengan gagang pintu kamarnya ketika manik mata kecokelatannya membola sempurna karena mendapati sosok sang ayah sudah berada di dalam kamarnya; duduk tegak di atas kasur dengan kedua tangan bersedekap di depan dada sambil menatap ke arah balkon yang jendelanya sengaja dibuka. Tubuh pemuda itu jadi terpaku begitu saja dan Tay membalik tubuhnya kini menghadap pada sang anak. Frank bisa melihat sang ayah saat ini tengah menahan sesuatu karena bibirnya sengaja dikulum.

"Duduk," sahut Tay sambil mengedikkan dagunya sebagai isyarat agar Frank ikut duduk di sampingnya.

Mendapat perintah begitu, Frank menutup pintu kamar dan melangkah mendekati sang ayah sambil menelan ludah juga berusaha untuk tetap tenang. Nada bicara ayah tak bersahabat, sehingga Frank pikir ia harus berhati-hati dalam berbincang dengan sang ayah saat ini. Setelah meletakkan tas dadanya di meja belajar, ia lantas langsung mendudukkan dirinya di samping Tay.

Sebuah embusan napas berat lolos dari bibir Tay setelah Frank duduk tepat di sampingnya. Pria paruh baya itu masih bergeming, menatap ke arah luar jendela yang terbuka membiarkan semilir angin di penghujung tahun menerpa lembut wajahnya. Sementara Frank semakin tak merasa nyaman karena ada tebing menjulang tak kasat mata di antara mereka.

"Nilai udah keluar," ucap Tay dengan nada bicara menyaru dan Frank menganggap itu sebagai sebuah pertanyaan.

"Hah? Belom, Yah, 'kan, ujiannya juga baru selesai minggu kemaren," balas Frank seadanya dari yang ia tahu.

"Udah keluar. Buka. Ayah tadi ada minta pihak kampus untuk kirim punya kamu sama Nanon," tegas Tay menjelaskan dengan intonasi yang jujur saja paling Frank tidak suka, seperti mengintimidasi.

Frank rasanya ingin protes karena sang ayah seakan menggunakan kekuasaannya sebagai penyumbang dana terbesar di kampusnya untuk hal yang seharusnya bisa ditunggu. Sayangnya ia sedang tak ingin membantah dan dengan malas-malasan ia beranjak untuk mengambil laptop dan bersiap melihat hasil kuliahnya selama satu semester ini.

Selalu ada rasa resah juga gelisah setiap kali ia harus dihadapkan dengan hasil perkuliahannya selama satu semester karena, Frank bukan hanya berjuang untuk tetap berada dalam bidang yang ingin ia geluti tapi, juga berjuang mempertahankan nilainya untuk terlepas dari keinginan orang tuanya. Sejauh ini Indeks Prestasi Kumulatif miliknya selalu sempurna sama seperti sang kembar namun, saat ini entah mengapa rasanya lebih berdebar atau mungkin karena sang ayah ikut andil berada di sisinya.

"Cepetan, Dek. Nunggu apa lagi?" tanya Tay yang sudah tak sabaran karena anaknya masih terdiam meski laptopnya sudah siap.

Frank menoleh pada Tay takut-takut, mengerjapkan matanya beberapa kali dan memberanikan diri untuk bertanya.

"Kenapa, sih, Yah, kok tiba-tiba banget?" tanya Frank dengan raut wajah bingungnya.

"Buka dulu, cepet," dan lagi-lagi Tay tak memberi jawaban pasti.

VIHOKRATANA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang