9. Adek Kembar

9.4K 1.1K 137
                                    

Semilir angin malam sepoi-sepoi menerpa wajah lelaki yang sedang mengepulkan asap dari mulutnya, di balkon resort yang disewanya. Sebenarnya, ia tak begitu suka merokok, tapi di waktu-waktu tertentu ketika penat melingkupi dirinya ia tak segan untuk menghisap sebatang atau dua, malam kemarin pengecualian. Fluke tadi sudah lebih dulu masuk kamar, sementara dirinya masih enggan melanjutkan lelap, sibuk berkecamuk dengan pikirannya. Rongga dadanya menghangat dan mulai sesak, nampaknya sudah terlalu banyak mengkonsumsi batang berasap yang masih terselip di antara jemarinya.

"Belom tidur, lo?" sebuah suara datang dari balik punggungnya. Ah, benar kedua saudaranya turut diangkut oleh Fluke, ia sempat mendapati beberapa pasang sepatu di pintu masuk resort mereka tadi, milik saudara kandungnya.

Frank menoleh dan mendapati Nanon sudah berada di sampingnya, "baru beres makan. Lo nggak tidur?" Frank balik bertanya.

"Belom ngantuk," ucap Nanon sambil menerawang menatap langit malam itu yang dipenuhi kerlip bintang. "Cakep banget nggak sih langitnya?" lanjut Nanon lebih kepada diri sendiri.

Frank ikut mendongak, menatap langit senada arang dengan jutaan cahaya di atasnya. "Hm," ia bergumam menanggapi.

Nanon melirik pada Frank, kemudian merogoh kantong dan memberikan sebungkus permen pada sang kembar, "nih, lo udah ngerokok terus dari semalem. Ketauan ayah tau rasa."

Frank melempar begitu saja rokoknya ke lantai, menginjak batang berasap itu yang masih menyisakan setengah tubuhnya. Tangannya terulur, meraih permen rasa mint yang kebetulan adalah kesukaannya dan langsung ia lahap.

"Inget nggak sih, dulu kita sering banget berantem?" tanya Nanon tiba-tiba, matanya menerawang jauh ke depan sedang pikirannya kembali memutar memori terdahulu.

"Bukannya sampe sekarang masih?" Frank mendengkus dan terkekeh, ia ikut masuk dalam ingatan masa lalunya.

"Iya sih, tapi dulu tuh nggak guna banget nggak sih? Hahaha rebutan mainan lah, rebutan ayah-papa lah, rebutan abang juga. Padahal kalo dipikir lagi, ya mereka punya kita tanpa perlu rebutan, 'kan?" Nanon jadi meringis sendiri dengan tingkah keduanya ketika dulu mungkin masih berusia lima.

"Kita yang nggak pernah rebutan tuh cuma sama uncle First nggak sih? Hahaha dulu males banget soalnya uncle suka resek, gangguin terus. Mana tau udah gede-gede gini malah nempel banget sama uncle," Frank tertawa diikuti anggukan setuju dari Nanon yang juga tergelak.

"Sumpah, inget nggak sih dulu kita pernah diajak main gitu sama temen-temennya uncle. Pulangnya dimarahin papa soalnya kita belepotan lumpur semua, pas udah gede baru paham dulu kita diajak main ke sawah nyari kodok buat tugas sekolah uncle," Nanon semakin tergelak.

"Ih iya anjir inget banget gue, itu kita umur berapa deh? Lima ya? Atau enam? Uncle ikutan dimarahin papa tapi terus ketawa-ketawa doang."

"Lima kayaknya, masih pitik banget kita anak bawang. Lo nangis paling kenceng, soalnya baru itu liat papa marah banget hahaha."

"Lo juga nangis kenceng ya waktu itu," tuding Frank. Nanon mencibir, namun tak mengelak.

"Ya, papa serem banget marahnya."

"Bener sih," Frank lagi-lagi setuju. "Pas malem, ayah pulang kantor kita langsung ngadu abis dimarahin papa hahaha."

"Untung ayah nggak ikutan marah."

"Njir, kalo marah juga gue nangis guling-guling di lantai kali." Mendengar pernyataan sang kembar, Nanon kembali tergelak.

"Sama hahaha."

"Soalnya abang juga waktu itu nggak belain. Ikutan kaget liat kita belepotan."

"Jadi kangen ayah sama papa," ujar Nanon.

VIHOKRATANA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang