Ilusi

319 52 7
                                    

Menjadi manusia memang kerap terkesan rumit dan sulit. Melangkah seringnya merasa salah arah. Berbicara kerap ragu tak terkira. Berpikir malah berakhir pada banyak khawatir.

Menjadi baik nan berfaedah tanpa upah pun tak pernah mudah. Biasanya, ada hasrat dalam dada ingin dihargai, dan itu sebenarnya manusiawi. Tapi, pada akhirnya tak bisa disangkal, bahwa balasan dari harapan pada dunia tak sesimpel keinginan akal.

Karakter manusia tak bisa disama rata. Tak semua memiliki empati satu hati. Hal ini seharusnya sudah terpatri pada nurani. Dan, memang juga, sedari awal wajib paham bahwa tak boleh memendam dendam. Tetapi ... tak menyemat rasa penat lantaran kesal? Aih, rasanya tak masuk akal.

Hasrat mengeluarkan amarah perlahan melangkah. Berusaha mewakili diri yang dipenuhi perih tak terperi. Dominasi sanubari perlahan tak lagi asri.

Namun, tiba-tiba,

hakikat tujuan hidup menepuk hati manusia satu ini lirih-lirih.

Katanya, begini :

Seharusnya, jika penat, terus-terus saja mengingat balasan Rabb berkat baiknya tabiat.

Semestinya, jiwa bersemangat saja pada hal-hal yang bermanfaat untuk akhirat.

Seyogyanya, tersadar dengan benar penuh penyelaman tentang dunia yang amat sebentar.

Sebaiknya, tanpa tapi, diri segera mengamati langit tinggi-tinggi, mensyukuri nikmat iman, yang dengan apapun itu tak akan pernah layak terganti.

Merenungi, lalu menekan diri agar terus menyadari sepenuh hati, bahwa dunia ini hakikatnya penuh ilusi.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang