Perkataan yang selalu teringat setiap hendak membeli gamis beserta kerudung adalah ini,
"Hijrah itu bukan sekadar penampilan. Pakaian itu bisa dibeli. Tapi iman di hati, itu gak bisa. Dia hanya bisa di-charger dengan ilmu, dan niat yang jelas kepada Rabb."
Meluruskan niat sesulit menggenggam air di tengah serangan dahaga. Alih-alih terlalu percaya diri akan mampu melakukan, nyatanya tidak ada yang terengkuh selain basahnya tangan.
Tujuan untuk menghilangkan haus? Tidak terpenuhi. Segarnya hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh genggaman, tanpa setetes pun menyentuh tenggorokan.
Pentingnya menjaga niat memang sesulit itu. Bukan hanya sesekali perdebatan hati dan pikiran memilih keinginan atau tujuan.
Belum lagi jika sampai pada prinsip.
Ini saja butuh waktu yang tidak sedikit agar tetap kokoh di terjang badai. Berdiri tegap saat banyak yang melawan arus. Memoles iman di dalam, bukan hanya apa yang kelihatan.
Padahal kerap terdengar kisah para pembelajar yang habis-habisan memperoleh ilmu. Rela kehilangan harta demi pengetahuan.
Penampilan? Siapa peduli. Bahkan ada yang menjual genting rumahnya untuk melakukan perjalanan jauh ke rumah guru demi merengkuh ilmu. Seniat itu.
Menarik diri dan melihat usaha para pendahulu, lalu mencontohnya. Jangankan itu. Mendatangi majelis ilmu setiap pekan saja perlu niat setumpuk. Tidak perlu itu. Menonton kajian lewat handphone saja masih sempat berceloteh khawatir beli kuota baru.
Kesederhanaan Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tidur di tikar pelepah kurma hingga tercetak bekasnya di punggung.
Royalnya Abu Bakr dan Utsman yang habis-habisan membelanjakan hartanya demi kemaslahatan dakwah.
Totalitas Umar menjadi pemimpin karena amanah, bahkan menganggapnya beban berat, bukan sebuah harapan.
Keberanian Ali yang rela berbaring di tempat tidur Nabi tanpa takut terbunuh saat kaum kafir Quraisy datang.
Nyatanya, iman tidak sesederhana mengubah penampilan. Segalanya butuh pengorbanan, perlu totalitas tinggi dalam menjaga niat, memenuhi iman, menegakkan prinsip.
Berat.
Sungguh.
Lalu kembali teringat pada gamis dan kerudung di hadapan. Mengorek niat di dalam hati terdasar. Bertanya-tanya, tentang apa tujuan dari transaksi muamalah ini dilakukan. Apakah ingin karena warna terbaru yang belum dimiliki, atau butuh lantaran hanya ini pakaian yang layak digunakan ketika safar.
Yang tahu hanya diri. Bertanya diam-diam pada hati, tentang kesesuaian tujuan kepada Rabb terkait tindakan yang harus dipilih. Apakah segera membayar kepada penjual lalu membawanya pulang, atau justru meletakkannya kembali ke tempat semula.
Tulisan ini, tentunya pengingat bagi pemilik akun ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku Introver
De TodoCatatan panjang. Ketika berjalan, duduk di angkutan umum, membeli sesuatu di berbagai tempat, di mana pun itu, pernahkah terpikir tentang beberapa hal lalu berakhir pada membahasnya sendirian? Jika pernah, maka karena itulah work ini ada. Daripada h...