Sudah cukup lama saya meninggalkan menulis, dan ini benar-benar sesuatu yang sangat tidak membuat nyaman. Pendefinisian antara cara mencari jati diri atau sekadar hobi, jika bersinggungan dengan kegiatan satu ini, membuat saya diputar-putar oleh pemaknaan yang rumit.
Semacam, apakah menulis itu memang kebutuhan bagi diri saya selama ini? Sehingga, mungkinkah itu alasan saya seperti kecanduan untuk memaknai sesuatu lalu menuliskannya? Tetapi, bukankah butuh dan candu adalah dua hal yang berseberangan?
Sayangnya, akhir-akhir ini kesimpulan terkait pertanyaan di atas mengerucut, pada hal-hal yang cukup membuat saya meringkuk untuk menjauhkan jari dari ketikan atau goresan yang berbentuk kata, kalimat, paragraf, atau lebih luas daripada itu-penjabaran akan berbagai perspektif di kepala.
Saya tidak menyalahkan pikiran-pikiran ini, yang kerap tak mau kalah untuk saling mengemukakan pendapat. Terkadang, terus terang, cukup menguntungkan ketika pada suatu waktu, ada perkara di hadapan yang mau tak mau mesti mengeluarkan begitu banyak pandangan liar, lantaran tak bisa hanya mengandalkan segelintir sudut pandang saja. Saya jadi lebih mudah mengambil keputusan, dan biasanya lumayan tepat.
Lalu, apa masalahnya?
Saat mengetahui berbagai huru-hara, entah karena mendengar lingkungan sekitar kerap membahas hal demikian, atau masa-masa dimana ibu jari menggulir layar ponsel kemudian muncul berbagai informasi tak terduga,
membuat saya berpikir sejenak dan perlahan huru-hara tersebut mulai menghipnotis pikiran dan menarik masa lalu, untuk kemudian dipampangkan secara lebar pada panggung di dalam kepala saya.
Perputaran memori itu saya kira hanya sementara, tapi ternyata cukup bertahan lama. Nyaris setengah tahun. Tidak hanya sampai di sana, saya dialihkan untuk kembali membaca tulisan-tulisan lama, dan saat teringat huru-hara di berbagai media itu, seketika ingin rasanya saya membakarnya menjadi abu terkait hasrat dan hobi menulis yang kerap hilang-timbul ini pada diri sejak dini hingga kini.
Berputar-putar sebelum masuk ke inti adalah kebiasaan buruk diri ketika hendak membincangkan sesuatu, dan saya semakin memahaminya tepat ketika kata-kata ini ditulis. Sebenarnya, itu tergantung. Kalau yang dibahas cukup rumit, biasanya memang demikian, dan yang akan dibahas ini, masuk ke dalam kategori tersebut.
Baiklah, jadi, begini...
Kalau pernah kita dengar bahwa, kata-kata adalah do'a, kemungkinan, tulisan juga demikian.
Mungkin, itu mengapa, di masa lalu, ketika kita memiliki mimpi yang ingin sekali dicapai, guru kerap kali menyuruh--nyaris memaksa--, agar ada baiknya hasrat tersebut dituliskan mentah-mentah di suatu tempat.
Pada masa lalu, biasanya mereka meminta untuk merangkainya di buku tulis. Semacam 'dear diary', misal. Mungkin, di era digital ini, media sosial merupakan alternatif lainnya.
Sayangnya, pola ini berbeda.
Tak seperti kasus buku Diary dan segala macam terkait cita-cita itu, menulis di sosial media memiliki hasil yang terkadang cukup unik dan agak mengerikan. Pola-polanya dalam beberapa bulan ini sungguh saya analisis secara mendalam.
Salah satu perbedaan yang tak kalah menarik, adalah tulisan-tulisan di sosial media lebih meluas dan tak sekadar berhubungan dengan apa yang diharapkan agar bisa diraih. Motivasi, emosi, prestasi, hal-hal yang begitu campur aduk membaur di sana, bahkan tak jarang komedi masuk ke dalamnya.
Setelah itu, mari kita bahas hasil.
Seperti yang saya paparkan di awal, bisa dipastikan kita memang perlu khawatir saat berkata-kata. Dan, memang kenyataannya, kata-kata bukan hanya dari lisan saja. Tulisan juga memiliki andil, dan bisa dikatakan cukup potensial untuk menggapai apa yang tak bisa lidah sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku Introver
RandomCatatan panjang. Ketika berjalan, duduk di angkutan umum, membeli sesuatu di berbagai tempat, di mana pun itu, pernahkah terpikir tentang beberapa hal lalu berakhir pada membahasnya sendirian? Jika pernah, maka karena itulah work ini ada. Daripada h...